Sabtu, 31 Juli 2010

Kabar burung Babad

BABAD??????
Babad, babad, babad, dan babad. Mengakses babad atau sejarah Nusa Penida di dunia maya ini sangatlah mudah, membeli kacang goreng di warung masih lebih sulit ketimbang mengakses babad atau sejarah Nusa Penida. Dengan mudahnya mengakses babad atau sejarah NP apakah ini merupakan penomena sebuah kemajuan informasi? Apakah informasi itu? adakah etika dan estetika didalam informasi yang di publikasikan? Yang bagai manakah informasi itu benar? Apa perlu informasi itu dipertanggung jawabkan? Bagaimanakah exses negatif secara hukum akibat dari informasi yang salah? Apakah mutlak Jabatan, Status sosial, Pendidikan, yang menjamin informasi yang di berikan itu benar? Dalam Konteks Budaya Bali yang di dasari oleh Dharma Agama apakah informasi itu diperlukan sebuah kenyataan? Apakah kenyataan itu yang merupakan jawaban dari sebuah informasi yang benar? kenapa............? kenapa...........? dan kenapa penulis banyak tanya???????.

Pada awalnya penulis berkeinginan bisa menjalankan internet ini didasari oleh keinginan agar mendapatkan informasi yang benar. besar harapan dari penulis ingin mendapatkan pencerahan batin melalui internet yang konon dari cerita teman - teman bahwa internet bisa memberikan informasi yang akurat dan tepat. Selain itu sebelumnya penulis amat mengharap dari niternet ini bisa memberikan tuntunan yang betul - betul mengarahkan penulis pada suatu titik yang benar atas dasar logika yang tak terbantahkan. Namun betapa terkejutnya penulis, dalam bahasa Bali (kesiab icang) manakala penulis mengetik babad nusa penida di google web bermunculanlah babad atau sejarah Nusa Penida yang tampil bagaikan induk - induk tawon yang akan pindah sarang. yang sangat mengherankan penulis dalam babad - babad yang muncul tersebut, isinyapun mengandung makna yang berbeda, apalagi jika babad atau sejarah tersebut penulis kaitkan dengan babad atau sejarah yang penulis dapatkan di darat melalui tulisan - tulisan atau melalui gaguritan yang penulis dengar, demikian juga gaguritan dalam bentuk buku. Dan anehnya lagi dalam masing - masing babad atau sejarah tersebut, masing - masing mengedepankan bahwa ceritra itulah yang paling depan atau yang pertama terjadi di Nusa Penida. Kalau masalah kecanggihan system internet penulis amat sangat mengakui dan mengapresiasi pada penemunya, bahwa penulis hanya dengan duduk santai di depan computer penulis bisa mendapatkan informasi yang sedemikan banyak, ibarat asal bisa ngetik pasti di jawab dan di carikan oleh Bapak atau Ibu Google. Tapi yang tidak habis penulis pikir, bagi para pemulung sejarah di darat yang bakal dijadikan sebuah alat untuk mendapatkan popularitas pribadi, dalam hal ini penulis tidak yakin pada seorang pemulung tersebut bahwa dia memahami arti dari pada Sejarah atau Babad tersebut. Yang paling membuat penulis tercengang, bahkan sejarah yang di dapat dari penutur - penutur yang luntur dan kabur sehingga menjadi sejarah atau babad yang hancur lebur sampai ajur di komersilkan dalam bentuk buku - buku! Sepertinya Nusa Penida sekarang ini sudah tidak mampu memeberikan lahan tempat mencari penghidupan, sehingga sejarah atau babad yang tidak pernah dilakoni disusun dan di komersilkan hanya demi beberapa lembar rupiah.

Disisi lain di Dunia Maya ini penulis menemukan Silsilah Nusa Penida yang tampilannya sangat mengagumkan, sepintas silsilah tersebut membuat penulis heran, dengan mampunya seorang anak manusia yang di lahirkan di bumi ini melalui rahim seorang ibu mampu melihat dan bercakap - cakap dengan Ida Bhatara sehingga semua Bhatara2 yang ada di Nusa Penida ini dengan mudahnya di muat dalam silsilah tersebut, berdalih dengan kewaskitaan, kejenyanan, kesucian, yang tidak terlepas dari bangkitnya seluruh cakra2 suci di luar maupun di dalam tubuh manusia tersebut sehingga mampu tahu sebelum di beri tahu atau (weruh sadurung winarah) dengan tanpa pertimbangan atau pengkajian yang luas serta masuk akal silsilah itu di publikasikan di dunia maya ini. Percayakah anda??? Jika saja anda para pengunjung mejawab percaya, saya yakin anda adalah seorang yang Bhuta, seorang yang bhuta disebabkan oleh kegelapan, kegelapan disebabkan oleh ketidaktahuan, ketidaktahuan disebabkan oleh tidak berfungsinya akal sehat yang di sebut logika. Sehingga apa yang dilihat itulah yang benar, apalagi dilihat oleh banyak orang sehingga banyak yang memebenarkan. Tahukah anda dengan yang benar? betapa banyakpun jumlah anda yang membenarkan yang tidak benar, sejumlah itulah bhuta telah mempunyai pengikut. Penulis yakin pengunjung akan memahami maksud kalimat singkat penulis di bawah ini, penulis bertanya pengunjung mejawab dan merasakannya: Mampukah air bercampur dengan minyak? bila kaca tembus pandang yang besar dipajang di tengah jalan dalam keadaan yang bersih, apakah anda melihanya? apa benar hanya kaca yang berisi debu atau kotor yang cepat bisa anda lihat? batu dalam air apakah disebut tercampur? masihkah bisa anda memisahkan batu dengan air tersebut?

Masih banyak contoh2 yang patut kita pergunakan sebagai dasar untuk berpikir sehingga kita mampu menglogikakan segala yang ada di dunia ini, penulis seorang anak yang terlahirkan di pulau yang kering yaitu Nusa Penida, namun stetes air yang membasahi benak penulis, penulis harap jangan sampai kering sehingga penulis mencari dan mencari tetesan air tersebut, karena penulis yakin setetes air tersebut akan kering manakala penulis telah sampai pada tujuan hidup ini yaitu kematian!

Penulis tidak akan memuat jawaban segala yang penulis tanyakan diatas, dengan jawaban yang penulis muat di tulisan ini itu berarti penulis berperan serta membentuk kegelapan yang berakibat Bhuta, penulis tidak mau pengunjung menjadi bhuta, karena dengan mata terpejampun dunia ini malah semakin luas dapat dilihat dari pada mata terbuka.

Demikianlah sekilas suara cuapan seekor burung gagak dari sebrang, yang berkelakar bagaikan seorang pemabok yang tak sadarkan diri, sehingga kata2 yang disusun berputar memenuhi arah mata angin dunia ini yang pada akhirnya sempoyongan dan rebah pada titik tengah yang di sebut Madya! Hormat dan bhaktiku pada mu wahai Madya Madya Madya Siwa ya !!!!!!!!!!

Prabu Salya Wafat

Salya Membuka Rahasia Kematiannya

Waktu muda bernama Narasoma. Ia anak Prabu mandrapati raja Mandaraka. mempunyai adik perempuan bernama Madrim menikah dengan Pandu berputra kembar, Nakula Sadewa. Istrinya bernama Pujawati (Satyawati) putri Begawan raseksa Pinandita di padepokan Arga Belah.

Menjelang berakhirnya Baratayuda raja Salya diangkat menjadi panglima perang Astina. Pengangkatan itu telah menarik perhatian Pandawa mengingat kesaktian raja Mandaraka itu tidak ada tandingannya. ia memiliki aji Candra birawa yang dapat menciptakan ribuan raseksa ganas pemangsa manusia. Konon apabila darahnya menciprat benda, maka benda itu akan menjadi raseksa. Dapat dibayangkan apabila banyak darah bercipratan, akan bermunculan pula raseksa-raseksa lain dan arena peperangan lainnya akan dipenuhi oleh makhluk-makhluk pemangsa itu.

Menurut Kresna sekalipun Salya sakti tiada tanding gagah tak ada lawan, batinnya lebih menyayangi Pandawa. Berpihaknya kepada Kurawa karena terjebak kelicikan Sakuni. Padahal semula ia akan membantu Pandawa. Untuk mengetahui rahasia kelemahannya, diutuslah nakula Sadewa menghadap uwaknya.

Demikianlah tatkala nakula Sadewa menghadap Salya, dengan nada sendu si kembar berkata: “Duh, uwak Prabu, kedatangan hamba menghadap paduka, hanya untuk menyerahkan jiwa raga hamba berdua. Hamba malu oleh saudara-saudara hamba, apabila balatentara Pandawa dan saudara-saudara hamba akan dengan mudah paduka hancurkan. Kesaktian paduka tiada tandingannya. Karena itu hamba berdua ingin didahulukan dibunuh sebelum paduka berhadapan dengan mereka,” ujarnya memelas.

Sejenak Salya berdiam diri wajahnya membersit perasaan haru yang mendalam. Ia melihat dan membayangkan adiknya, madrim yang telah tiada. ia introspeksi diri betapa rakusnya ia menghirup kelezatan duniawi, sementara yang muda harus segera mengakhiri hidupnya. Terbayang pula kejadian dahulu ia telah memaksa membunuh mertuanya yang baik hati dan berbudi luhur hanya karena berwajah raseksa. Ia mengakui bahwa Ia telah tertipu oleh perasaannya sendiri, bahwa bentuk luarnya yang buruk ternyata dalamnya berisikan emas.

Lalu ia bersabda: “Anakku, sebenarnya aku lebih menyayangi Pandawa. Hanya saja aku telah terjebak oleh kelicikan Sakuni yang memaksa aku berada di pihak Kurawa. Tapi apa boleh buat nasi telah menjadi bubur kini aku harus berhadapan dengan mereka yang aku sayangi. Memang kesaktianku takkan ada tandingnya, kecuali oleh seseorang yang memiliki darah putih. Di tangan dialah rahasia kematianku. Sekarang kembalilah engkau ke kubumu dan sampaikan salam kasihku kepada mereka,” katanya.

Salya dengan sengaja telah membuka rahasia kematiannya kepada pandawa melalui Nakula Sadewa. Tetapi Salya pun tidak mengetahui, adakah di antara para Pandawa yang memiliki darah putih.

Ketika hal itu disampaikan kepada Pandawa, Kresna langsung menunjuk Yudhistira sebagai lawan raja Mandaraka itu. Maka dengan hati yang amat berat terpaksa Yudhistira maju ke medan perang menghadapi kakak kandung ibu misannya (Madrim).

Ketika Salya telah berada di medan perang, ternyata ia pun tak sampai hati harus berhadapan dengan Yudhistira. Maka dengan berat hati pula terpaksa ia memerintahkan ajiannya raseksa Candra Bairawa.

Sementara itu balatentara padnawa telah siap bertempur dengan raseksa. Tetapi kresna merasa khawatir atas keselamatan tentara Pandawa, karena prajurit-prajurit itu akan dengan mudah menjadi mangsa raseksa-raseksa ganas itu. Segera ia memerintahkan semua tentara membuka pakaian keprajuritannya, karena hanya orang-orang yang berpakaian prajurit saja yang akan menjadi sasarannya. Tetapi tidak demikian dengan Yudhistira, ia menolak membuka pakaian keprajuritannya, karena itu berarti telah menipu atau membohong yang sangat tabu baginya.

Maka dengan sekejap saja Yudhistira telah berada dalam lingkaran para raseksa siap untuk dimangsa. Tapi tiba-tiba raseksa itu terperanjat karena mencium bau darah putih seperti darah Bagaspati pemilik aji Candra Bairawa. Makan dengan serempak si raseksa itu berkata: “WAhhh, dia gusti kita,” serunya berulang kali. Dan seketika itu musnahlah makhluk-makhluk itu masuk ke dalam tubuh Yudhistira.

Dari kejauhan Salya menyaksikan ajiannya telah menyatu dengan Yudhistira. Ia semakin yakin, bahwa kematiannya ada di tangan manusia berbudi luhur adil palamarta yang ternyata berdarah putih. Lalu ia berkata” “Anakku, lepaslah panahmu. Aku telah waspada engkaulah satu-satunya ksatria yang akan mengatarku ke alam asal,” ujarnya pasrah. Dengan memejamkan kedua matanya, Yudhistira melepas panah dan rebahlah raja mandaraka itu di atas kereta perangnya. Ia mati dengan tersenyum. Sebaliknya Yudhistira sangat pedih karena seumur hidup jangan pun membunuh, memukul pun tak pernah. Kresna segera menghibur dengan mengatakan, bahwa Yudhistira telah menunjukkan kewajibannya sebagai seorang ksatria.

Babad Nusa Penida sesion 6

OM Awignamastu nama sidyam.

Iti tingkahing pretiwi, turhana gunung luwur, tan hana manih ngaluwuring gunung ika, ika ngaran linggih Bhatara Brahma, Wisnu, Iswara, linggih Sang Hyang Siwa Pasupati, muang Bhetari Rohini, ng , Bhatari Uma, ring pretiwine kabeh, iti hana tingkahing tattwa, I Renggan, ng, Hana saking prenah kompyang I Dukuh Jumpungan, ng, Hana rawuh ya saking gunung Jambu Dwipa, ng, saking Majepahit.

I Dukuh Jumpungan ya hana ngaran saking putran Bhatara Guru, muang I Mranggi, putran Bhatara Guru, Sangkaning ya mewasta I Dukuh Jumpungan, dwaning ya dados dukun, dening ya ngusadanin Bhatara Bhatari kabeh. Ika ya mearan I Dukuh Jumpungan, apan ya sakti, tur prajnyan, wicaksana, Putran I Dukuh Jumpungan muang I Mrahim, maduwe putra macaling, mearan I Mrajeng I Mrajan ika, ng.

Dados I Mrajan merabi ring Ni Lundah, maduwe putra mearan I Kundur Kundur. Ya merabi ring Ni Lumi, putra I Renggan. Ya merabi ring Ni Mrahim, mduwe ya putra meran I Gutra, I Mecaling, mearan Ida Ratu Gede Dalem Nusa. Sametone mearan I Agung Dalem Sehang. Hana mearan Ni Tolih, Ni Pari, I Angga, I Runa. samiya hana ring jagat Nusa.

I Dukuh Jumpungan, anggaweluluwan ring Penida, pitung rahina ya ngwangun ring Penida, lawut ya agya, raris I Dukuh Jumpungan ya magenah ring tepining segara ring luluwan Penida, ring jagat Nusa, Dewane ring pucak Gunung Mundi meraga istri, mearan I Dukuh Cemeng, Sesai ya akarya kain kasa, tur hana Dewa mula irika, ng, Dewa Ni Rohini, magenah ring pucak gunung Mundi jagat Nusa Penida,

Dewane sane magenah ring tepining segara tukad penida, ng, sesai makarya kain blacu, dukne ya wawu rawuh prapta ring jagat Bali, saking gunung Jambu Dwipa, sareng I Dukuh Jumpungan, raris ya ke jagat Nusa Penida, apwan ya rumuhun magenah ring Penida, sangkan hana Nusa Penida. I Dukuh Jumpungan duk kari r ing Jagat Bali presida dening I Dukuh Jumpungan nambat – nambat Bhatara Bhatari kabeh. Ingaraning Dewa Nawa Sanga, I Kober Putih, I Kober Kuning, I Kober Ireng I Kober Bang, I Kober Manca Warna, magenah ring jagat Gelgel Bali,

sane malinggih ring pucak gunung agung, ng, Bhatara Brahma, Bhatara Wisnu, Bhatara Iswara, muang Sang Hyang Siwa Pasupati, muang Dewi Putri, ng, Bhatari Uma, muang Dewa di Toh Langkir, tur Dewa Bhatara Sambhu, Dados hana kayun Ida sane malinggih ring pucak gunung agung, tan becik rikalaning macingak ring gunung jagat Nusane ring pucak Mundi, apan ya istri ngaran, tan wenang tegehan ya, lawut kelangseg gunung Mundine, apan ya landung tegeh, magolengan antuk Ida Bhatara sane malinggihring pucak gunung agunge ring jagat bali, dados ebah mabriyug gunung jagat Nusa Penida, ya ebah ring kelod kangin, pcaknyane ya kewastanin Bukit Tunjuk Pusuh, ng, dados ya kebrahmantyan Dewane sane melinggih ring gunung Nusa Penida, dados I Renggan prenah kompyang I Dukuh Jumpungan ya nunas panugrahan ring Bhagawan Wiswa Karma, tur digelis ya uning, tur prajnyan ya ngawe prahu muang sarwaning wwangunan, tur hana manih Bhatara Ghana ngalugrahin I Dukuh Jumpungan saluiring pacang hana, Idep nyane I Dukuh Jumpungan, tur Bhatara Bruna aweh ya panugrahan I Renggan tan bisa mati – mati,

I Renggan lawut hana idepnyane, ya pacang mintonin idep nyane ene, apan nia ngamolihang panugrahan saking Bhatara Ghana, ring Bhatara sane malinggih ring pucak gunung agung ring jagat Bali, apan idepnyane I Renggan banget kebrahmantyan, dados ya I Renggan idepnyane lakar nrejang gunung agung jagat Baline dening prahu, lawut katuwunang prahune ring tepining segara penida, dwaning Ida Bhatara ring Toh Langkir ring pucak gunung agung sampun Ida macingak, raris Ida aminta tulung ring Bhatara Indra, ednsida ya kalah I Renggan, Dados Ida Bhatara Indra eling ring I Renggan, ya kicen panugrahan ring Ida Bhatara Baruna,tur kepastu ya I Renggan tanbisa matiedning Bhatara Baruna, dados tangkil Ida manih Bhatar Indra ring Ida Bhatara Baruna, mangda sida pacang munahang idep kesaktyanne I Renggan, nanging hana sabdan Ida Bhatara Baruna, ring Ida Bhatara Indra, tandadi ya pejahang I Renggan, lawut Ida Bhatara Indra memargi tur angadeg nyantosang ring jagat Nusa Penida ring bucu kaja kawuh Ida nyantosang tur manyingakin, raris rawuh sampun prahune I Renggan, ring segarane melayar, manuju ke uttara. Lawut Ida Bhatara Indra nengkejutin, Ih dadi iba prahu umben melayar ring segara, pacang kija iba jani, dados rikalaning prahune mebatekan, ri sedeng kenceng layar nyane medaging angin mebatekan, dadi cengangelan ya I Renggan, tur ngenggalang ngelebangin talin layare, dwaning ya I Renggan kadi kedadak mirengan sabda ring tepining jagat Nusa Penidane, dening sampun kalintang layare medaging angin, dadi nyelempang prahunyane I Renggan kelem asibak, dadi ento kranane ya mehadan Tanjung Jalumpang jagat Ceningane, layar bidak nyane enu ya ngenah putih kelep – kelep, ento keadanin jagat Lembongan, dwaning kepanggih kecingak saking jagat Nusa Penida, ring tepining jagat Nusa kaja kawuh, ento ya mekrana madan Tanjung Kuning,

Tanjung Akuh, dwaning ngantos malingkuh kacingak saking irika. dadi makejang putrane I Renggan ya pada macebur melangi ring segarane, ya pada ngarereh ring tepining jagat Nusa Penida, risampune sami presida nyujur tepining jagat Nusa Penida, sesampune sami presida rawuh ring jagat Nusa Penida, dados ipun I Renggan kari maduwe manah kebrahmantya mantuk ring Bhatara ring pucak gunung agung, kagiyat I Renggan, malih angwangun prahu, lawut kemargiang prahune, kasorogang saking dangin bukit Tunjuk Pusuh, kaselag di tengah lolowan jagat Nusa Penidane, manuju ke uttara, ngantos sampun rawuh ring segara, risada kala ika, ngantos pegat sahak jagat Nusa Penidane pinih wetan ngantos doh pisan, sangkaning punika ya kewastanin jagat Sasak, dados manih prahune I Renggan tan sida pacang anrejang gunung jagat Baline, dwaning ya taler kacingak antuk Ida Bhatara ring Toh Langkir, dados manih Ida Bhatara aminta lugraha ring Bhatara Baruna, lawut kategul prahune I Renggan, raris kapuket dening gurita, ngantos tan sida maglunjitan, sekadi batu magumi prahune I Renggan, dados ya punika kewastanin Batu Byaha, dados kalah punah idrep nyane I Renggan,

Kacarita ya I Renggan, mapinunas saking genah prahune ika, sampun prahune ika merupa Bukit Batu Byaha, saking irika ya mapinunas kesarengin antuk putran nyane sami, ya I Gutra nunas jagat Nusa Penidane kabeh, kalugraha pinunas nyane I Gutra ring Ida Bhatara saking gunung agung, tur kanyenengang dados Dewa Nusa Penida, ng, magenah I Gutra I Mecaling ring Bias Mentig, sametone I Dalem Sehang, magenah ring Baingin jagat Nusa Penida, lawut Ida angamel jagat Nusa Penidane kabeh, dados Ida anyeneng ratu Dalem Nusa, malinggih Ida ring Baingin, ng. I Dukuh Jumpungan taler magenah ring Jagat Nusa, ring tepining segara tukad penida, putran I Dukuh Jumpungan sami taler polih genah, sane areng magenah ring tepining tukad penida Ida taler mekarya kain blacu, sane magenah ring jagat Ceningan ring Bakung, Ida taler mekarya kain lilam, I Byareka Ida magenah ring Sakenan Jungut Batu, sane kari Dewane ring Bukit Batu Byaha Ida mearan I Jurang, sane istri Ida mearan I Yarum, ng, Dewane ring Padang Bai Ida mearan I Rangga, Dewane ring Sakenan Bali Ida mearan I Rana, Dewane sane istri ring Goa Lawah Ida mearan Ni Puri, Dewane ring segara mearan ya I Renes, Dewane ring Bias Mentig Nusa Penida Ida mearan I Gutra I Mecaling, ng,

Dewa ring Dalem Nusa. Dewane ring Tunjuk Pusuh mearan I Tolih, sametone I Dalem Sahang, ng, magenah ring jagat Nusa Penida ring Baingin, Ida angamel jagat Nusa Penidane kabeh, nanging hana idep nyane cacad, saluiring hana panjak Nusa ya ngelah pyanak jegeg, mangda ngaturang ring Ida Dalem Sehang, arahina wengi wong istri ika. Dadi sayan ageng meweh panjak Nusane kabeh, dados tangkil panjak Nusane, sampun merasa akweh pada nguningang ring sameton Ida Dalem Sahang sane malinggih ring Bias Mentig, sane mearan I Gutra I Mecaling, dados Ida tan kengin maduwe adi sameton makta idep ala, raris metangi tur memargi Ida I Gutra I Mecaling, pacang mituturin Ida Dalem Sehang wus prapta ring genah Ida Dalem Sehang, lawut mujar Ida I Gutra ring Ida Dalem Sehang. Eda adi buka keto angawa idep, dening adi angamel jagat Nusa ne kabeh, mula adi patut mituturin panjak kabeh ane angawa idep ala, eda adi angawenang panjak adine meweh, nora patut adi buka keto, lawut mesawur Ida Dalem Sehang Ih beli dening tityang kojaranga angamel jagat Nusane kabeh, nah ento ciriang tityang panjak Nusane suba sbakti, pada ebah sumuyug, pada rep tekening tityang, ento cirin tityang kanggo angamel jagat Nusa Penidane kabeh. Malih mawujar sira I Gutra I Macaling, yaning keto pelaksanan adi, ento marupa idep Adarma, ng, amrih sukaning idep, amrih sukaning awak, Nora wenang Sang angamel jagat angwaw idep ala, risada kala ika, Ida Dalem Sehang, masemu jengis tur kebrahmantyan ring rakan Idane I Gutra I Mecaling, malih pisan I Gutra mabawos ring arin Ida, yan mangkana sumitanta ring rakanta, pinih becik adi lebang wewidangan adi ngamel jagat Nusane, tur suwudang adi dadi ratuning jagat Nusa Penidane, apan tan manut pangelaksanan adi teken linggih adine.

Sehantukan Ida Dalem Sehang tan presida kabecikang malih antuk rakan Idane, irika I Gutra I Macaling, maidep pacang nandingin arin Ida Dalem Sehang, premangkin dados I Gutra I Macaling sahasa ngunus senjata kris luwih, sahasa Ida nebek – nebek Ida Dalem Sehang, nanging tan sida Ida I Gutra I Macaling pacang ngalahang ngemademang I Dalem Sehang, dados merarian I Gutra I Mecaling.ng. Raris mapinunas I Gutra I Mecaling ring Dewane ring gunung agung, Asung ya lugraha tekening I Gutra I Macaling, kaewehin Ida Padang Kasna, rupan padange ika sami putih – putih, akeh ya wenten ring gunung agung Besakih, lawut winantranin tur kepasupatiyang Padang Kasna ika, raris dados marupa Padang Kasna ika, wusan ya mapasupati marupa ya dadi anak alit, dwaning ya sampun meraga duwur, raris kewastanin I Dalem Dukut, tan mari Ida Dalem Dukut mangkin keaduang ngelawan Dalem Sehang, I Dalem Dukut angawa keris Ratna Kencana, tur kedagingin paruh ning manuk Dewata, mangda sida ngemademang I Dalem Sehang, Ida Dalem Dukut kairing antuk I Gusti Jelantik Bogol, dados hana ujar Ida Dalem Sehang sadurung Ida pejah, nah ene beli nyak lakar mati Nanging disubane beli ngalahin mati, kewala gaenang beli palinggih ring tepining Jagat Nusane, ne ring tepining segara kaja kangin, ditu beli gaenang palinggih Meru tumpang Solas. Tur keadanin Batu Medawu, apan pematin beline mati kedawuhin, beli pacang mati ngalahin iraka beli adi, tur toya danune hana ring pucak gunung Mundi ne, ento aban beli ke segara. lawut sang kalih maperang rames, saling tebek katebekin, akeh panjak pangiringe mati ring payudan, raris katimbalin Ida Dalem Dukut anebek Ida Dalem Sehang, rikala ika Ida Dalem Sehang pejah. kapejah dening Ida Dalem Dukut, dados kairing pejah Ida Dalem Sehang sareng I Gusti Jelantik Bogol, sareng akeh taler panjak – panjake mati, sisan panjake mati kari ya kewastanin Si Wayan Si Made Si Nyoman Si Ketut, sawusan maperang lawut nyat toyan danune ring pucak gunung Mundine, rawuh mangkin ya twara ngenah danune ring pucak gunung Mundine ring jagat Nusa Penida. raris Ida Dalem Dukut mangda angamel jagat Nusa Penidane, saking Igutra Imacaling ngandikain Dalem Dukut,

Ida I Gutra I Macaling Ida dadi Patih Agung, meparab Ida Ratu Gede Papak Badeng Dalem Nusa Penida, madegah Ida ring jagat Ped Nusa Penida, taler Ida mearan Dalem Nusa, ng, magenah Ida ring lor ring tepining segara nampek, Ida Dalem Dukut magenah ring Daksina, genah Ida I Macaling Papak Badeng, Ida Dalem Dukut duk Ida wawu ngamel jagat Nusa Penidane kabeh, Ida sesai kayun memargi mapikat titiran, tur katututin Ida ngesai Ida Dalem Dukut, antuk Ida Dalem Mecaling I Ratu Gede Papak Badeng, sane dados pepatih Ida Dalem Dukut, Rabin Ida Dalem Dukut, I Ratu Ayu Mas Maketel, sadina – dina ring puaregan, kesarengin putri Ida istri, ng, Ni Ratu Ayu Mas, magenah Ida ring Taman, dwaning ngerahina Ida Ratu Ayu Mas Maketel mekarya ajengan ring pwaregan, dados keni tangan Ida Ratu Ayu Mas Maketel, dening gigi kikian, jarin tangan Idane keni kakikih edning gigi pangikiane, rikalning Ida ngikih klapa pacang anggon Ida anglawanin ajengan,

dados barak sami tain kikiane ika, dening ya keni rah jarijin Ida Ratu Ayu Mas Maketel, dados tan presida Ida manih pacang ngarereh klapa, sehantukan Ida wantah istri – istri ring puri, dados kadurusang keanggen kelapa ika, keratengang kebaksen, risampune Ida Sang Hyang Surya makibeh kawuh, lawut rawuh rabin Idane, ng, I Dalem Dukut, kesarengin antuk Ida I Dalem Macaling papatih Agung, dwaning kalintang luwe Ida makekalih, dados keaturina rayunan, tur toya mewadah caratan, wusa Ida sareng kalih amgajengang toya, lawut Ida amangan sareng kalih, pada tan mangitung paran – paran, ri sampun wusan Ida amangan, wawu hana ujar pitaken Ida I ratu Gede Dalem Macaling, ring Ida Ratu Ayu Mas Maketel, utawi rabin Ida Dalem Dukut, Ih Ayu Mas, kenken dadi barak endih makejang sambel gagecok kelapane, turmaning nyak ya dadi melah, lan jaen pisan, apa ento dagingin adi. raris matur Ida I Ayu Mas Maketel, ring Ida Dalem Macaling, tityang wantah ngalungsur kaiwangan tityange puniki ring beli sareng kalih, saiwang – iwang tityange puniki, dwaning tan wenten sangkaning manah tityange angawe marupa kadi iki, taler tityang ngalungsur geng sinampura, ring anggan beline sareng kalih, dwaning saking jarijin tangan tityange keni polih kikih ityang, antuk punika gigin pangikiane, punika dados mawinang sami kelpane abang, saking rah tangan tityange medaging, nanging boyaja sangkaning manah tityang mangda kelpane asapunika, wenten manah tityange malih ngrereh klapa, sadwaning tanwenten anak lanang panggih tityang,

dados kelapa punika durus anggen tityang gagecok, tineresin tityang, gantin tityang mangda medaging iwang, kalintang langkung iwang tityange ring anggan beline, sangkaning tityang dados ngaryaning beli sareng kalih mapikayun ala, yaning tan dados lungsur tityang ring anggan beli sareng kalih, kemawon malih tityang ngalungsur ring beli sareng kalih, punika sami boya sangkaning manah tityange, mangda tangan tityange asapunika, ngantos ginegul tityang dening kasa, indayang beli suryanin sareng kal;ih tangan tityange puniki. Nah yening keto tatwan adi adine, eda topanjangan adi ring beli, dwaning beli amangan sekadi biasa sareng kalih, sumingkin idep beli ne ledang, risampun beli neda tan sida surud – surud idep beline amangan, dening ya merasa sayan – sayan luwung. Dados hana tatwan Ida manih Dalem Dukut, yaning kene rasan luwung nyane, gagecok ane winangan, mirib luwung iwak manusa, dados masawur Ida Dalem Macaling, mirib luwung jati, yaning hana mirib jati, dadi manih hana tatwan Ida Dalem Dukut ring Ida Dalem Macaling, tatwa sasingidan, nah ne hana wong rare sesai ya mae melali diwangan, beten taru bunute, sesai ya melali mae, ento tegarang ambil jogot sawiji, dening hana dina rawuh, Coma Kajeng Kliwon, raris eling Ida Dalem Macaling, ring tatwan Ida Dalem Dukut, lawut Ida Dalem Macaling angambil rare ento sawiji, rikala surup suryane kawuh, irika Ida ngambil ring batan bunute ring jaba, nyogot Ida sawiji, raris Ida meratengan awengi ika, lawut Ida mapesta awengi, dwaning sampun pada kerasayang Ida pada melah, dados Ida satunggil dina Kajeng Kliwon,

Ida ngambil wong rare sawiji – sawiji, anyelat molas rahina, satunggil dina Kajeng Kliwon Ida makarya Pesta, dados sayan wengi jagat Nusane tenget kabeh, dados sayan meweh panjak Nusane kabeh, yaning kene satunggil Kajeng Kliwon, wong rarene tetep ialang sawiji – sawiji, irika diwangan di batan kayu bunute ring jaba puri, dwaning asapunika pariindi kan jagat Nusa Penida, raris tangkil wit okan I Gusti Jelantik Bogolke Klungkung Bali Gelgel, peaya parek ring Ida Dalem Watu Renggong ring Klungkung Gelgel, lawut dane tan wani magenah ring Ped, dados dane magenar ring Sompang Jagat Nusa Penida, Kagiyat rawuh Ida Dalem Watu Renggong ring Jagat Nusa Penida ring Ped, dwaning Ida arsa ring manah maduwe sameton asapunika, sumingkin agung yukti kebrahmantyan Ida ring kayun Ida Dalem Watu Renggong, risedek Ida Dalem Dukut ring jaba diwangan, ring batan taru bunut ring diwang, jeg rawuh Ida Dalem Watu Renggong lawut nyagjag tur amujar, Ida Dalem Watu Renggong ring ajeng Ida Dalem Dukut, Ih adi Dalem Dukut, sing je adi patut adi dadi manusa amangan iwak manusa, mirib tusing adi totosan Dewa, isin alasan mirib adi dadi jadma kene, patutke penglaksanan adi buka kene, manusa amangan manusa, tanbina ya i sato idep adine, lipya mirib adi ring kamimitan, dening kene idep laksanan adine, agung dosa kuang pati saja adi, lipya ring ketatwan lipya ring linggih, lipya ring tutur aji, tanpa sipat manusa adi numitis, angelarang darmaning Raksasa, lipya ring darmaning ratu jagat, yaning kenen abet adi ngisi jagat, tan patut adi maurip, wenang adi kapejah den sira kaka, mangke adi kapejah dening beli, apan adi angawa idep ala, ng, iki dadi ila – ila dahat. dadi hana sabdan ida amatra Ida Dalem Dukut, inggih beli tityang wantah ngiring wacanan beline pacang kepademang, dening yukti langkung idep tityange ala puniki,

dening sampun puniki wirasayang tityang, getih iwak imanusa, anggen tityang sampun nagingin urabkelapa makikih, dwaning getih kari matah punika sampun polih wirasayang tityang, tan wenten malih pacang ada nandingin wirasan becike punika, dados gagecok kelapane punika, mangda beli taler mekarya gagecok bang, risampun tityang pejah, yan pacang Puja Wali ring Khayangan yadyan ring Paumahan, mangda taler beli ngandikayang sami, getih bawine ginanggon, mula ika wirasayang tityang ane madan uttama melah luwung, nanging taler beli mekarya gagecok putih, inggih asapunika atur pariwekas tityange nering beli mangkin, inggih mangda taler beli eling, rawuh ring wekasan mangda eling, tityang mangkin nunas pejah, lawut Ida Dalem Watu Renggong anrejang raris anebek ring jaba, lawut pejah Ida Dalem Dukut ring Jaba Puri, dados tan dadi layon Idane pacang kapundut ring Puri, tan dados kabresihang ring jroning Puri, apan ya pejah ring jaba diwangan Jero Purine, nuang yan mati doh, nuang mati ring alase, tan wenang ika ginawa bresihin ring jroning karang paumahan, apan ika, ng, mati ala, tan wenang ika ginawa ring jroning karang, mangda tan kasusupan karang umahe dening Bhuta Kala Kali, yaning ya pejah jroning karang umah, ika wenang bresihin ring jroning karang umah, wusan sampun mabresih layon Ida Dalem Dukut ring jaba, lawut irika ring jaba Ida kekaryanin Palinggih, ring batan taru bunute Ida Dalem Dukut, dados kantun rabin Idane ring Puri, I Ratu Ayu Mas Maketel, sareng putrin Ida sane istri I Ratu Ayu Mas, taler kesarengin Ida dening Ida I Gutra I Macaling, I Da meparab Dalem Nusa, malinggih Ida ring uttara ring tepining segara, taler kari kayun Ida amangan iwak manusa, dados manih Ida Dalem Watu Renggong, kayune mangkin pacang nugel caling nyane I Dalem Nusa, dados Ida Dalem Nusa tan kayun Ida pacang matugel caling nyane, yan matugel caling tityange, tan sida angtuk tityang pacang amangan, dados mesawur Ida Dalem Watu Renggong, sada alus banban,

nah de adi keto, dadi adi amangan nanging rikalaning Sasih, Ka, 6, Ka, 7, Ka, 8, nanging yan hana medaging ciriring arep jebag manusane, hana cirinia, rwaning Pandan, tur matorek pamor matampak dara rwaning pandan ika, lawut ginantung ring arep jebag pakarangane mapatibuluh tajep, yan hana buka ketocirin nyane, tan wenang adi memaksa janma ring pakarangan ika, ane cen ja tusing maciriento wenang adi memaksa amangan ika, raris katugel caling Ida Dalem Nusa ring gunung agung Besakih, dados keambil caling nyane dening rabin Ida Dalem Watu Renggong. Dwaning Ida Dalem Nusa kari anganggon idep ala, amatining wong tanpa dosa, kagiyat manih Ida Dalem Watu Renggong, pacang memaksa kayun Ida, pacang mademang Dalem Nusa, lawut Ida Dalem Watu Renggong, angambil senjata keris sane luwih, di gelis Ida memargi, kairing dening rabin Idane, lawut sampun rawuh Ida ring jagat Nusa Ped, raris Ida Dalem Watu Renggong nawuhin Ida Dalem Nusa saking sisi diwangan, tanpajemugaujar Ida Dalem Watu Renggong, kagiyat Ida anebek Dalem Nusa, saha sahasa Ida nebek Dalem Nusa, nanging tansida bingluh Dalem Nusane, ngantos maganti – ganti sanjata luwih jati, nanging taler Ida Dalem Nusa tansida pejah dening sanjata luwih ika, dados meweh Ida Dalem Watu Renggong, dwaning Ida tansida pacang ngemademang Ida Dalem Nusa, raris wenten atur rabin Ida, ri jeng rabin Idane, taler sekadi tityang meweh, dwaning saluiring sanjata luwih sami tan prasida antuk amejah, Ida Dalem Watu Renggong sayan – sayan lesu sumitan Idane, tur tan sah mapikayun ring sajeroning ajnyana, riantukan Ida Dalem Nusa nenten presida kapejah, kagiyat matur rabin Ida Dalem Watu Renggong, puniki tityang polih merupa caling, polih tityang ring Besakih, daweg tityang tangkil sareng beli ring Besakih, indayang puniki anggen mademang Ida Dalem Nusa,

dadi sekadi langsuh pesawur Ida Dalem Watu Renggong, Ih adi kalingke merupa kene ya pacang nyidayang luglud, ane sedeng sanjata keris ane madan uttama luwih, ya tusing nyidayang kelet, apa kalingke marupa kene, dados manih rabin Ida Dalem Watu Renggong matur alus tur banban, Ih beli indayang niki ambil, anggen mademang ipun Dalem Nusane, yan taler tan nyidayang napi becik antuk beli ngawonin, raris Ida Dalem Watu Renggong angambil caling ika, calinge ika pacang anggen Ida tategarang anebek Ida Dalem Nusane, riwawu Ida Dalem Watu Renggong pacang ngesahasa nebekang, lawut kacingak Ida Dalem Nusa, sadereng Ida Dalem Watu Renggong nebekang, raris Ida Dalem Nusa Pejah, ng, dados sami Ida matemahan dadi wong sunia, sami dados tan kepanggih, marupa sunia, ng, kairing antuk Bhuta Bhuti, Kala Kali, I Bala Samar, I Ratu Gede Macaling, Ida Dalem Nusa, I Papak Badeng ring Ped, Ida mula duke dumun, mendadi sayan tenget jagat Nusa Penidane kabeh, rawuh mangkin mula sangkaning Ida angawe gering panes tis, grah mrapah, gering grubug, ngutah mising, sadina – dina wong pejah, sangkan hana den sira manusa, matur piuning tur mapinunas Tirta Pakuluh, smi ring dina Kajeng Kliwon sira mapinunas, tur hana densira caruning sasih, maduluran matabuh rah, rikalaning magentos ikang sasih, anyelat 30 rahina matabuh rah, Iti Pangeling – eling ring jagat Nusa, ng, sangkaning hana ya mengaran jagat Ped, hana sangkaning kepaid ya magenah irika Ida Dalem Dukut, tur pejah Ida Dalem Dukut taler kepaid – paid.

Babad Nusa Penida sesion 5

Copperplate Inscriptions at Sopang

I Gusti Made Kerthayasa, member of the Jelantik Family at Ped, together with his adopted sons from mainland Bali, organised a trip to the Mrajan, the Family Temple, at Sompang where the author photographed copperplate inscriptions. The inscriptions are kept inside a statuette of a black bull. The Prasasti Jeroan Sompang, as the inscriptions are called, is a Babad-like rendering of the Jelantik family history after the conquest of Nusa Penida by Gusti Jelantik Bogol, supposedly during the reign of Dalem di Made (second half XVI century) at Gelgel court (Bali). The despot Dalem Dukut was defeated and peace was restored.
The Babad consists of 36 yellowish copperplates inscribed on both sides. The plaques look quite new and are rather thin. The dimensions are: length 34cm, width 3,5cm, thickness 0,5mm. Each copperplate is inscribed on both sides and contains four lines.
The Downfall of King Dukut

Below summarised translation is based upon a poem (Gaguritan) written by I Gusti Made Kerthayasa (see below). He based this story of the Jelantik Family at Ped upon copperplate inscriptions briefly described above. The translation of the original Balinese text into Indonesian was done by historian Ida Bagus Sidemen.

***

The king who ruled in Nusa Penida was Sang Sri Nrepati, who was also called Sri Dalem Dukut, and he had his palace in Ped. It was recounted that he was a God who came down to earth (penjelmaan dewata), born after meditation from the Kasna plant. He was granted the wish of defeating all kings with kesaktian by Batara Gunung Agung. But the Batara reminded him that Dukut had to remember his Dharma, and if Dukut were to forget his Dharma, then Batara would take back his life.

In the beginning all was fine in Nusa Penida, until Dalem Dukut could no longer control his thoughts and desires, and wanted to be served by a different girl every evening.

The people of Nusa were dissatisfied with the king, and word got round about his arbitrary rule. The Village head of Sompang, Ki Jero Bendesa, heard about this and decided he wanted to speak to the King of Bali on this. At the moment he arrived at the royal court at Gelgel, all the ministers and the king were gathered to talk of war in Java. The king addressed Ki bendesa with ‘uncle’ and asked him what was on his mind.

Ki Jero Bendesa told the King of Dalem Dukut, of his arbitrary and cruel behaviour, how he failed to rule with wisdom, that all of his desires had to be fulfilled immediately and that he was immune to any weapon. He told the King of Bali that he was willing to fight Dalem Dukut only if the King wished it so.

The King then made plans to attack Nusa Penida since his general was not able to fight Dukut’s spiritual strength, his kesaktian. He was going to send his ‘jagoan’, since everyone remembered that Kryan Paminggir had died in a fight with Dalem Dukut not long before. The ‘jagoan’ he had in mind was Kyayi Ngurah Jelantik, but he was in Kubutamban in North Bali. So the king sent out his ambassador to call on Jelantik to ask him to make his appearance at court. When Jelantik appeared before the King, he was asked to go to Nusa and kill Dalem Dukut, since he remembered that Jelantik was related to the warrior family of Wesnawa, and Kesatrya Kediri (Java). Jelantik promised he would fulfil the king’s wishes and said that if he was not to succeed in vanquishing Dalem Dukut, he would die in Nusa. All of those present stood in awe, remembering how Jelantik’s father had died in Java empty-handed, expatiating the sins of his father.

The king commissioned Jelantik to go to Nusa Penida and gave him 200 armed men and a keris by the name of Bambang Cacaran, a gift from Hayam Wuruk, the King of Majapahit.

Jelantik talked to his wife Ayu and she told him she would accompany him and that she was ready to die with him if necessary. And finally, Jelantik, his wife Ayu and 200 men departed for the coastal town of Kusamba to cross the straight. Once they got to the other side in a jukung, a proa, they landed in Jungutbatu (Lembongan) and set off to ‘Nusa Ped’, i.e. Nusa Gede.

At hearing of the envoy from mainland Bali, Dalem Dukut became angry, his face turned red and his eyes went sharp. There he was, Gusti Jelantik, who had a pretty scary appearance himself, having been faithful to Dharma, with eyes that radiated the energy of a Ksatriya, a warrior. His army was awaiting his orders. Dalem Dukut invited Jelantik over and treated him as a guest at a royal banquet. Jelantik told Dukut he was sent out by Dalem’s older brother (Balinese: Raka), the King of Bali, commissioned to kill Dalem Dukut. Dukut then swears to kill Jelantik. Jelantik reminded him that Dukut was indeed a man of extraordinary kesaktian, but that his behaviour had done him in for those greedy for power and wealth, the arrogant, were certainly doomed. This was ordained by God.

Dalem Nusa was miffed by so much courage, boldness and invited Jelantik to a duel where they would try out their kesaktian. All of Nusa Penida’s people were invited to watch the duel. Jelantik accepted Dukut’s invitation.

The duel was watched by all of the islands inhabitants. Jelantik tried to stab Dukut, but failed. Dalem Dukut cursed Jelantik, whose keris broke and Jelantik went into meditation to follow his father’s fate. At seeing this, Gusti Ayu Kaler got angry and she gave him a pusaka, a holy heirloom, at which Jelantik felt an enormous power come over him. When Jelantik took the pusaka and used it to attack Dukut, the latter became afraid and felt the end was nigh. He asked to stop the duel and to sit down.

The King offered him food and they sat down to talk. Dukut said he felt that the pusaka was indeed possessed kesaktian bestowed upon it by Hyang Naga Raja at Basukih, the snake at Besakih. It was a gift from The Lord Toh Langkir at Gunung Agung, it was called Ki Pencok Sahang. Dalem Dukut explained how the cremation ceremony was to be held, that there was a plot of dry rice paddy (gaga) land of 200 (…), a letter (BAL: pinggan, INA: pretima) with a drawings of a padma (a lotus flower with eight leaves), and a drawing of a cakra, a circular weapon with four spokes, each with the end in the form of a trident, a ‘trisula’. There was also a big vase (guci), used during special ceremonies when a king was to be anointed (upacara madeg ratu), and there were the 35,000 invisible beings (bala samar). That they never shall be forgotten, as with all the temples on Nusa Penida, the Sad Khayangan and the Tri Khayangan. When at long last the duel went into its final stage, Dalem Dukut was stabbed by Jelantik and died. The audience cheered, all were very happy, the arrogant king had been defeated, Jelantik had won the duel.

The corpse of Dalem Dukut was taken to his temple at Ped, and the occasion was attended by all the Bendesa. All orders by Dalem Dukut regarding his ‘palebonan’ (funeral ceremony) were to be obeyed. The ceremony in Ped was lead by Ki Jero Bendesa Sompang. Jelantik stayed on in Nusa Penida for quite some time, since he had to perform pitra yadnya, the ceremony for his ancestors.

The village head of Sompang invited Jelantik over to his home. During the trip to Sompang, they found themselves in a forest where monkeys were swinging in the trees, where birds were heard singing and all was very beautiful indeed. There were sugem (…), jungle fowls, turtledoves, punan (…), cockatoos, kruwek (…) and quails, celukukan (…) made a sound which resembled a gong, crows were heard, selaen (…) were seen flying all over the place, as if to show their happiness. In the middle of the forest there was a river with crystal-clear water, they sat down there, before continuing their journey to a temple on the beach. They felt refreshed and relieved.

At the house of Ki bendesa Sompang, they were treated with great respect. Jelantik now is referred to as Gusti Agung and even Paduka, which usually refers to a King. Before entering the house, Jelantik’s feet were washed by Bendesa’s daughter, Luh Sulatri. Having vanquished the King of Nusa, Jelantik now had gained enormous kesaktian. He was offered Sulatri by the Bendesa. Jelantik fell in love instantly and he offered to marry Luh Sulatri. Such was agreed.

After many sweet words and love talk between Luh Sulatri and ‘Paduka Dewa’ Jelantik, it was time for them to return to mainland Bali. Gusti Ayu and the entire Balinese army were ready to leave. Loh Sulatri is desperate to see her ‘Sasuhunan’ (Paduka yang Mulia, His Royal Highness) go. When she was three months pregnant, she made up her mind to follow her father, the Village Head of Sompang, to go for the Jelantik Palace near Gelgel.

At court, Bendesa Sompang spoke to Gusti Ngurah Jelantik and said that after his victory over Dalem Dukut all the people were happy and all was well. He also anxiously spoke about his daughter Luh Sulatri who was three months pregnant. At hearing this, Jelantik remembered his promise to her, and said to Bendesa he was going to give a keris to him called Naga Dungkul, to give to his daughter Ni Luh to organise an official wedding (in his absence – this is called marriage by the keris and is organised when someone marries outside of his/her cast). He told Bendesa to build a separate palace for her, so ‘things do not get mixed up with your affairs’, and the palace is to be called Puri Jeroan Sompang. Sulatri was very happy and whilst the building of the Puri was underway, she was married with the keris as a substitute for Gusti Ngurah Jlantik.

After the child was born, a ceremony was organised as befits a “ruling Arya, the possession of the people”, in accordance with Bendesa’s wishes. But Sulatri still missed Jelantik who lived at court in Bali. She prayed to God that if it were not for her son, she would probably already have committed suicide using the keris Ganja Dungkul, used for the marriage, such was her feeling of distress and longing for him. She then tells her father that she wants her son to go to his father Jelantik in Swecapura, and the Bendesa agrees. He prepares for the voyage.

Sulatri said to her son, who still has no name, that he should be absolutely obsequious and respectful of his father Jelantik and hug his feet since he is a great man, for he defeated the King of Nusa. And thus, ac companied by the Bendesa Sompang and many people of Sompang, Sulatri’s son leaves for Bali on an auspicious day. And he arrived at the Puri Jelantik.

There, Gusti Agung Ngurah Jelantik Bogol and his wife Gusti Ayu Kaler were chatting of the olden days, when Jelantik vanquished the King of Nusa. Ayu had found the ‘tusuk konde’ filled with sakti in the Unda river, and it was hidden in ‘kayu api’ and in a dream she had heard a mysterious voice, the voice of Tohlangkir at Gunung Agung. Jelantik thanks his wife for saving him, since it was thanks to her intervention he could defeat the ‘Ratu Sakti’
Suddenly Jelantik saw the boy who bowed, greeted him and hugged Jelantik’s feet whilst crying. Everyone was stupefied at the appearance of this handsome and well-mannered young man. The Bendesa then explained it was his own son. Jelantik was surprised and happy at the same time, and said to the boy: Barak Bagus, please get up and let me tell you the truth. He was given the name Gusti Lanang Kepandaian, a name befitting his person.

Jelantik told his son to stop sobbing. He reminded him to always be faithful to his religion, and to worship his ancestors at Pura Cungkub Kroting and Mrajan Agung. He told Kepandaian that by the death of Sri Dalem Dukut, he was granted (by Dukut!), land of dry rice paddies (tegal gaga), i.e. 200 sikut (1 sikut = 50 are = 5.000 m2) after having taken care of the funeral ceremonies (palebon) for the dead King. These dry rice fields are located at Peed*1* and are to be your possession later on. There was also the message to honour the Khayangan Tiga, and the Sad Khayangan, amongst which Pura Batu Medawu, Penataran Agung Peed*2* and Pura Puncak Mundi. Other temples such as Parhyangan at Penida, Pura Bakung and Pura Segara were to be taken care of.

There were more presents by the King (Dukut): a big vase (guci), two especially sacred plates and 35,000 invisible beings (wong samar) all of these for you, my son, to take care of. I hope that you from now on can take care of the people who have been worshipping me all this time. All places in Nusa Penida should receive attention, like Jungutbatu Ceningan Sakti, Lembongan Iseh Rata Waru, Klumpu Tulad Penangkidan and especially the village of Sompang so that peace may rule in Nusa.

All of a sudden Jelantik remembered to take his son to the king. When Rakryan Jelantik, Bendesa Sompang and Kepandaian arrived at Puri Agung at the royal court of Gelgel for an audience, the King was smiling like Wisnu, and asked what Ngurah (Jelantik) wished from the king. Jelantik told the King that he wanted the King to bestow a gift to Kepandaian to remind him of the events of earlier times. And Kepandaian then was anointed as Manca Agung for Nusa Penida by the king at Gelgel, the main representative of the king and the ruler of Nusa Penida. He asked of Jelantik to remind his son Kepandaian to build a Pura Pedoman as a sign of the King’s promise, in remembrance of the fact the jelantik had killed Ratu Nusa. And the King of Bali gave Jelantik something else, a keris endowed with special spiritual power, a keris ‘sakti mandraguna’ and he asked him to behave as befits a true warrior. After expressing their gratitude, they left the royal court.

At the Puri Jelantik the three men said good-bye. Kepandaian thrust himself at his father’s feet and cried, as did Ngurah Jelantik, when Kepandaian reminded him of the fact how much his mother Luh Sulatri missed him. Bendesa Sompang said good-bye to Jelantik and they left for Nusa Penida.

At Jeroan Sompang a tree is mentioned, a ‘Lilly Tree’ (Pohon Teratai) lushly green, with white flowers and sweetly smelling. At the base of the tree was a big, shallow stone. At Jeroan Sompang now lived the heirs to Kiayi Ngurah Jlantik, i.e. Gusti Lanang Kepandaian together with his mother Loh Sulatri, verily the daughter to Bendesa Sompang. All the members of the ‘laskar’ (is this the 35,000 wong samar?) were given a share of the land on Nusa.

Gusti Kepandaian grew up to be a handsome young man who made all the girls nervous just by looking at them. And because of his good behaviour, his shining face and the fact he never was angry (his anger was locked away by wisdom) the people of Nusa loved him and all was peaceful.

One day his mother spoke to him about marriage to a girl of her liking, by the name of Luh Warsi, from the descendants of Wangsa Pande (Blacksmiths) in the village of Subia. Gusti Kepandaian answered that he had already met this girl and she was of his liking too. It was agreed that he was to be married soon, since he wished to be released from dreaming of NI Luh Ayu (The Beautiful Girl). He asked his mother to organise the wedding together with Pekak (Jro Bendesa).

And so the wedding of Gusti Lanang and Luh Warsi took place, and the wedding was attended by many inhabitants of Nusa Penida and also the Jero Bendesa. The construction (of temples?) was started henceforth, and the Sad Kahyangan were renovated, special attention was given to dance, music, poetry (kekawin) and the study of literature. And all was peaceful.

After some time, there were two sons. The first one was called Gusti Lanang Pamedilan, nicknamed ‘Arak api’ since he was a big and fierce man, a charismatic man with a black body. He had a thick moustache, white teeth. He was not afraid to challenge his enemy, loved gambling and was quite good at making lawar. He was asked to live at Peed. Since there was a plot of 200, a gift by the Ida Betara, the King of Gelgel in the olden days, so he decided to live there in the ex-puri, east of the temple, which now was turned into Jero

The second son was called Gusti Gede Tojan, he was charismatic, loved to study literature, and he had a green thumb in medicine. He continued to live at Sompang and everyone loved him since he followed the way of darma. When he was older, he married a woman from Sompang.

Pamedilan, after he was a grown man, married a woman named Luh Tangkas, a descendent of the Tangkas Koripan. They had a son who from a small age was always ill. The doctors (sjamans and dukuns) came, all to no avail. Then, Pamedilan remembered, and said to his son that if he got better, Pamedilan promised to move the Pura Pedoman to pray at it here. Since Betara Peed did not agree with this plan, Pamedilan did not have any more children. He then adopted a son from Sompang, as his ‘sentana’ (title of lower nobility?, Sundanese?), since his forefathers (leluhur) were only one.

Thus is the tale of old, of the situation at Sompang and of Peed, since they are one, like a ‘sepit’ which cannot be separated, in accordance with the contents of the Prasasti.

***

Notes
1) The spelling of the name ‘Peed’ is a common occurrence. ‘Peed’ in Balinese means to walk in rows dressed in traditional clothes to a ceremony, whilst ‘Ped’, the most frequently used name of the temple in Balinese means is the abbreviation for Pejeng, after which it was named.
2) It is unlikely there were ‘gaga’ (dry rice fields) at Ped, for the area was famous for its soggy marshes at one stage. These mashes were infested by malaria mosquito’s and in the early sixties a plague wiped out half of the population in this coastal area at which the rest of the people fled elsewhere. For the relation between plagues and Ped see chapter (…).

Source:
- Anonymous – Prasasti Jeroan Sompang- Kerthayasa, I Gusti Made – Gaguritan Runtuhnya Sri Dalem Dukut, Ped, Nusa Penida, 19 February 2003

***

The Poem (Gaguritan): The Downfall of King Dukut

The manuscript below was translated from Balinese into Indonesian by Ida Bagus Sidemen, July 2009. His views of this text are summarised as follows. From a historical and external critique point of view, this manuscript cannot be classified as a primary source. Therefore, below text is not sufficiently ‘strong’ and cannot be used as a means of reconstructing history. In order to obtain the primary manuscript, more in-depth and comprehensive research is needed on the palm leaf inscription called ‘Prasasti Jeroan Sompang, Nusa Penida’, which the author (I Gusti Made Kerthayasa) referes to as the source and inspiration of this poem.

Pupuh Ginada Pupuh Ginada
[1] Ring Nusa mangkin kaucap, madeg Sang Sri Narepati, ida luwih madurgama, tan jerih ida ring satru, antuk teguhe mabingkal, ratu sakti, daging jagat tan papasa. Sekarang diceritakan di Nusa, bertahta Sang Sri Nrepati, dia sangat seram, tidak takut kepada musuh, karena merasa diri kebal, raja sakti, seisi dunia tidak ada yang bernai melawan.
[2] kocap titisan dewata, tedun sangkaning samadi, masedana dukut kasna, majeng ring Hyang Gunung Agung, presida wantah ngasorang, ratu luwih, ngadokang momo angkara. Konon penjelmaan dewata, lahir berdasarkan semadi, dengan sarana rumput kasna, kehadapan Batara Gunung Agung, agar dapat mengalahkan, raja-raja yang sakti, dengan mengandalkan angkara murka.
[3] Sabdan Paduka Batara, sang malingga ring toh langkir, presida kita digjaya, gelarang dharmane tuhu, yan pradene kita lupa, ana iki, jaga amancut uripta. Sabda Paduka Batara, yang berstana di Gunung Agung, anda akan berjaya, asal menjalankan dharma dengan benar, kalau anda lupa, maka, aku akan mengambil kembali nyawamu.
[4] Sri Dalem Dukut puspata, ring Peed purine gumanti, ida dahat maprebawa, panjake sami sumuyub, pada ngemargiang swadama, nenten lali, Sad kahyangan kahilinga. Bernama Sri Dalem Dukut, keratonnya di Peed, beliau sangat berwibawa, rakyat semua taat, masing-masing menjalankan dharmanya, tidak lupa, mempersembahkan puja kepada Sad Kahyangan.
[5] Presida nemu raharja, bendesane pada bakti, titah sami kapatuha, wadwa samar akweh ngrungu, ratu sakti mawisesa, keto jati, lwihing arta berana. Berhasil menemukan kesejahteraan, semua bendesa bakti, didengar oleh semua orang halus, ada raja sakti mandra guna, benar begitu, kaya harta benda.
[6] Sampun suwe ne kalintang, rajas tamase mamurti, momo kalawan angkara, matunggalan pada metu, akrodane ngewasayang, peteng jati, sang patut sampun ngulayang. Setelah lama berlalu, muncul sifat tamak, loba dan angkara, bersama-sama muncul, dikuasai amarah, gelap gulita, kebenaran itu sudah melayang.
[7] Metu mangkin medania, panjake pada ngurimik, ratune sampun tan sida, ngemargiang kayun sadu, sekayun mangda kasida, tunggil wengi, teruni mangda katura. Sekarang muncul perbedaannya, rakyat mulai berbisik-bisik, rajanya sudah tidak dapat menjalankan pemikiran yang benar, semua keinginannya harus terpenuhi, setiap malam, agar dihaturkan seorang gadis.
[8] Metu erang wanging Nusa, tan terima ring Sang Nrapati, tingkahe ngenterang jagat, sekita karep pekayun, metu kayun Ki Bandesa, nglungsur kanti, ring jagat Bali Pulina. Orang Nusa menjadi marah, tidak terima dengan kelakuan raja memerintah kerajaan, memerintah dengan sewenang-wenang, muncul pemikiran Ki Bendesa, meminta bantuan, kepada kerajaan Bali Pulina.
Pupuh Pangkur Pupuh Pangkur
[1] Ki Jero Bendesa Sompang, mapikayun jaga tangkil ring Bali, dwaning manah nyane sungsut, ratunnya sampun lipia, ngamel jagat, peteng pitune ngeliput, memanah jaga tangkila, memarga ring jagat Bali. Ki Jero Bendesa dari Sompang, berniat akan menghadap ke Bali, karena pikirannya sedih, rajanya sudah lupa memerintah kerajaannya, gelap gulita menyelimuti, berencana akan menghadap, berangkat menuju kerajaan Bali.
[2] Semeng sampun caritayang, Ki Bendesa sayaga memargi, tan kocap dane lumaku, sampun rawuh ring Kusamba, gegancangan puri agunge ketuju, pedek ring ida Sang Nata, ngeraris ngeranjing ring puri. Diceritakan sudah pagi hari, Ki Bendesa siap berangkat, tidak diceriterakan perjalanannya, sudah tiba di Kusamba, dengan bergegas menuju Puri Agung, menghadap kepada Sang Prabu, lalu masuk ke puri.
[3] Kala napak penangkilan, para patih lan tandamantri, sami nangkilin sang prabu, para manca lan punggawa, bagawanta pinaka pengabih ratu, maosang indik payudan, jaga perang aneng Jawi. Ketika sampai di balairung, para patih dan pejabat kerajaan, semua sedang menghadap raja, manca dan punggawa, bagawanta sebagai pedamping raja, sedang membincangkan rencana perang, akan berperang ke Jawa.
[4] Kagiat Dalem masurya, apan wenten kawulane tangkil, mesabda Ida Sang Prabu, sakeng ndi ika prapta, kita paman warahakena aranmu, pranagata kita prapta, warahaken tatas jati. Dalem terkejut melihat, karena ada rakyat menghadap, Raja lalu berkata, kalian datang dari mana, katakan namamu paman, anda datang dengan tergesagesa, ceritakan dengan benar.
[5] Singgih ratu sasuhunan, aksi titiang matur sembah saha bakti, kawula nista titiang ratu, mangden ratu mangampura, saking Nusa Ki Bandesa panjak Ratu, mangda I Ratu suweca, titiang mangkin mapiuning. Ya Paduka junjungan hamba, saksikan hamba menghaturkan sembah dan bakti, hamba rakyat nista, agar paduka mengampuni hamba, hamba rakyat paduka Ki Bendesa dari Nusa, agar Paduka berkenan, sekarang hamba akan menceritakannya.
[6] Kawentenan wadwa Nusa, meweh sami ring pidabdab Sri Aji, mangkin medania metu, ngodag ngodag ngetang panjak, sakarepnya mangda presida satinut, tahu ring teguh mabingkal, sanjata tan sida kanin. Keadaan rakyat Nusa, semua susah dengan cara Raja memerintah, sekarang muncul keanehannya, memerintah rakyat dengan sewenang-wenang, semua keinginannya harus diikuti, merasa dengan diri kebal, tidak luka oleh senjata.
[7] Tan kuasa antuk kawula, tan sida ru ngepet patin sri aji, titiang ngelungsur swecan Ratu, mangda presida pejaha, yan presida titiang wantah sumanggup, ngaturaken bumi Nusa, panjak Nusa adung sami. Hamba tidak kuasa, hamba tidak berhasil membunuh Sang Raja, hamba memohon kebaikan hati Paduka, agar berhasil membunuh (Raja Nusa), kalau berhasil, hamba memang bersedia, menyerahkan pulau Nusa, semua rakyat Nusa sudah setuju.
[8] Kepiarsa ring Sang Nata, yaning tuhu kaya ujarta jati, ana papadunku kautus, mejahaken Ratu Nusa, apan jati arep ring panjak tan rungu, tingkahe sawenang wenang, tahu teken awak sakti. Setelah Raja mendengarkan, kalau perkataanmu memang benar adanya, ada jagoanku akan kusuruh, membunuh Ratu Nusa, karena memang benar telah berani tidak menghiraukan rakyat, kelakuannya sewenang-wenang, karena merasa dengan diri sakti.
[9] Sumaur Ki Jero Bendesa, singgih Ratu garjita titiang ring hati, dwaningf sampun ratu asung, sweca ring pinunas titiang, sane mangkin ngelungsur pamit ring I Ratu, jaga mewali ke Nusa, mogi sih Ida Sang Hyang Widhi. Ki Jero Bendesa menjawab, ya tuanku Raja hati hamba sangat gembira, karena paduka telah memenuhi permohonan hamba, sekarang hamba mohon pamit dari hadapan Paduka Raja, akan kembali ke Nusa, semoga Tuhan memberkatinya.
Pupuh Semarandana Pupuh Semarandana
[1] Swecapura kocap mangkin, ritatkala perareman, sungsut pekayunan Dalem, jaga mayuda ke Nusa, apan patihe tan sanggup, mejahaken Ratu Nusa, saktine tan kodag-kodag. Sekarang dicerterakan di keraton Gelgel, ketika dilakukan persidanan, pikiran Dalem menjadi sedih, akan berperang ke Nusa, karena patih beliau tidak sanggup, membunuh Ratu Nusa, (karena) saktinya luar biasa.
[2] Dwaning sami pada eling, Kryan Paminggir pejaha, saktin Ida sampun katon, Ratu Nusa mawisesa, tan presida jaga mapas, irika Dalem mikayun, eling ring pepadun ida. Semua orang masih ingat, Kryan Paminggir gugur (di Nusa melawan Ratu Nusa), kesaktian beliau (ratu Nusa) sudah tampak dengan jelas, Ratu Nusa benar-benar sakti mandra guna, tidak akan berhasil melawannya, Dalem berpikir, lalu ingat dengan jagoannya.
[3] Dane Kyayi Ngurah Jelantik, tan wenten ring perareman, ring baler gunung mangedok, wentene ring Kubutamban, ring Buleleng ya inucap, Ida Dalem raris ngutus, mangda presida tangkil. Beliau Kyayi Ngurah Jlantik, tidak hadir dalam persidangan, di sebelah utara gunung dia berlibur, ada di Kubutamban (Kubutambahan), konon (termasuk wilayah) Buleleng,. Ida Dalem lalu mengirim utusan, meminta agar segera datang menghadap (Dalem).
[4] Tan kaucap pamargine, Kyayi Ngurah saget prapta, rikala tepeng perarem, nagingin kayun Sang Nata, ngaturang sembah matura, napi wenten sarat Ratu, Ratu ngutus dewek titiang. Tidak diceriterakan perjalanannya, tiba-tiba Kyayi Ngurah sudah datang, pada saat sedang bersidang, memenuhi permintaan Raja, lalu menyembah dan berkata, apa gerangan ada hal sangat penting dari Raja, sampai memerintahkan agar hamba hadir.
[5] Uduh kita Ngurah Jelantik, ada pangidih manira, luwih muda jati bobot, kita kautus ke Nusa, Sri Dalem sida pejaha, Dalem Dukut jati tuhu, apan metu medania. Wahai engkau Ngurah Jlantik, ada permintaanku, memang benar sangat berbobot, kamu saya utus ke Nusa, membunuh Sri Dalem, yang benar memang Dalem Dukut, karena telah muncul penyimpangannya.
[6] Gelah tuah mula eling, kita kesatrya wesnawa wangsa, kita kesatriyeng Kadiri, kita patut amejaha, ana Ratune ring Nusa, manira gumandel tuhu, moga kita mangiringa. Aku ingat benar, bahwa kamu keturunan kesatrya Wesnawa wangsa, kamu merupakan keturunan kesarya Kadiri, (hanya) kamu yang pantas membunuh, ratu di Nusa, aku sangat mengandalkan kamu, aku berharap kamu menuruti (perintahku).
[7] Singgih Ratu Sri Bupati, titiang tan purun tulaka, ring titah palungguh Dalem, diastun jaga pejaha, sangkaning ngemargiang swadarma, sutindih titang ring Ratu, mangkin wenten pasubaya. Ya Tuanku Raja, hamba tidak berani menolak, perintah Dalem yang mulia, walaupun harus mati, karena telah menjalankan darma, membela perintah Raja, sekarang ada perjajian.
[8] Yan tan sida titiang yukti, mejahaken Ratu Nusa, yastun wisesane katon, titiang tan pawali muah, pejah titiang maring Nusa, jaga ngemelanin patut, punika janjin ttiang. Kalau ternyata benar hamba tidak mampu, membunuh Ratu Nusa, karena kesaktiannya sudah terkenal, kelak hamba tidak akan kembali lagi, hamba mati di Nusa, akan membela kebenaran, itu janji hamba.
[9] Gawok sami sang miragi, angob sadaging pareman, kadi tingkah ajin dane, duk mayuda maring Jawa, nantang meseh ninggal sanjata, sedane doning karebut, wantah nyupat atman sang bapa. Semua yang mendengarkan menjadi kagum, semua yang hadir dalam sidang menjadi bangga, seperti sikap ayahnya, ketika berperang di Jawa, melawan musuh tanpa senjata, wafatnya bukan karena dikeroyok, (dengan sengaja mencari mati) karena ingin (menebus dosa) menyucikan arwah ayahanda.
[10] Seneng Sang Nata miragi, yan tuhu kaya ujarta, pidabdabin prana gati, manira weh kita wadwa, akeh prajurite satak, moga presida rahayu, Ratu Nusa kapejaha. Raja senang mendengarkan, kalau memang benar begitu katamu, bersiaplah dengan segera, aku akan menberikan kamu prajurit, banyaknya 200 orang, semoga berjalan dengan selamat, Ratu Nusa dapat dibunuh.
[11] Mangkin kapicaang keris, Cacaran Bambang maharan, pican Ida Hayam Wuruk, ratune ring Wilatikta, pucuk malila ganja malila, anggen mrejaya sang ratu, mangden presida pejaha. Sekarang diberikan keris (pusaka), bernama Bambang Cacaran, pemberian Hayam Wuruk, raja di Majapahit, ujungnya tajam dan matanya juga tajam, digunakan untuk menusuk sang raja (Nusa), agar berhasil membunuhnya.
Pupuh Durma Pupuh Durma
[1] Adi Ayu beli rawuh saking tangkila, beli kautus Sri Bupati, lunga mayuda ke Nusa, beli tan purun manulak, nyihnayang dewek subakti, ngemargiang, titah Ida Sri Narapati. Adinda cantik kanda datang dari menghadap, kanda diutus oleh Raja, berangkat berperang ke Nusa, kanda tidak berani menolak, sebagai ciri kanda berbakti, menjalankan, perintah Sang Raja.
[2] Inggih beli yening sampun titah Sang Nata, laksanayang antuk bakti, titiang jaga mangiringang, tingkahing jaga mayuda, yastun titiang ngemasin mati, tresnan titiang, wantah tinut kayun beli. Ya kakanda kalau demikian perintah Raja, laksanakan berdasarkan bakti, saya akan menyertai (kanda), ikut akan berperang, walaupun saya harus mati, cinta hamba, selalu menyertai kakanda.
[3] Uduh adi angob beli miragiang, ngiring mangkin ngaturang bakti, nunas pasewecan Ida, majeng Betara kawitan, taler ring Ida Sang Hyang Widhi, asung nugraha, mangden ida manyarengin. Duhadi adinda kanda kagum mendengarkan, marilah sekarang mempersembahkan bakti, memohon berkah beliau, kehadapan Batara Leluhur, juga kehadapan Tuhan, agar rahmat beliau, ikut menyertai (perjalanan kanda).
[4] Semeng tatas rahinane jaga mamarga, busanane mangangobin, tuhu tosning prewira, keabih ring rabia, prajurite sampun pasti, pada sayaga, ngojog maring Kusamba tuwi. Pagi-pagi pada hari akan berangkat, mengenakan pakaian yang mempesona, benar-benar keturunan seorang perwira, didampingi oleh isteri, prajurit juga sudah siap siaga, sudah pasti menuju Kusamba.
[5] Nunggang palwa melayar ya mangelodang, penabrange sada gati, tan kocapan maring jalan, Jungutbatu saget prapta, mesandekan tumedun sami, raris memarga, Nusa Peed ne kaungsi. Mengendarai jukung berlayar menuju ke selatan, menyeberang dengan cepat, tidak diceriterakan dalam perjalanan, sudah tiba di Jungutbatu, berhenti dan semua turun, lalu berjalan, menuju Nusa Peed.
[6] Kocap mangkin kawentenan Dalem Nusa, tinangkilin bendesa sami, makleteg ida ring angga, ciri meseh jaga prapta, erang kayun ida mangkin, ngingkinang raga, mapan eling ring ida sakti. Diceriterakan sekarang tentang keadaan Dalem Nusa, sedang dihadap oleh semua bendesa, tiba-tiba beliau sadar, ada tanda musuh akan datang, sekarang dia menjadi marah, lalu mempersiapkan diri, karena ingat kalau dirinya sakti.
[7] Kagiat sami ki bendesa mengatonang, prebawane kadi paling, pangaksine sada galak, risaksat jaga memangsa, tingkah ida dahat brangti, manatasang, saget rawuh Gusti Jelantik. Semua bendesa terkejut manyaksikan, wajah (Dalem Nusa) seperti orang paling, memandang dengan galak, seperti hendak memangsa, kelakuannya sangat marah, melihat dengan tajam, tiba-tiba datang Gusti Jelantik.
[8] Prabawane Gusti Jelantik tan kasoran, mapan dane lwihing darmi, mancar tejaning ksatrya, tan kandap jaga mepadus, jurit dane ngantosang sami, ngantosang titah, jaga ngebug mabela pati. Wajah Gusti Jelantik tidak kalah, karena beliau sangat menjalankan darma, memancar cahaya seorang ksatrya, tidak akan mundur kalau berperang (tanding), prajuritnya menunggu, menunggu perintah, untuk menyerbu membela sampai pati.
[9] Saget nadak Ida nyapa Gusti Ngurah, kasambrama kadi tamui, ne te Ngurah saget prapta, mai dini sareng rabia, sarwa boga katuran sami, raris ngajengang, mangkin nimbal Gusti Jelantik. Mendadak (Dalem Nusa) menyapa Gusti Ngurah, disambut sebagai tamu, Engkau Ngurah kok tiba-tiba datang, marilah kemari bersama-sama istrimu, dihidangkan semua jenis makanan, lalu mereka makan (bersama), sekarang Gusti Jelantik ganti berkata.
[10] Naweg ratu ampura titiang kautusa, rakan ratu ring jagat Bali, mangden tan iwang pemarga, titiang wantah nyuun titah, nglungsur premanane jati, sare ledang, titiang wantah jaga ngiring. Mohon maaf saya sebagai utusan, (dari) kakak anda di Bali, agar saya tidak salah jalan, saya hanya menaati perintah, meminta nyawa (membunuh) anda, terserah (bagimana caranya), saya tetap akan mengikuti.
Pupuh Ginada Pupuh Ginada
[1] Kita Ngurah renga jua, kola suba nawang jati, setekan Ngurah ring kola, kita mula wanen tuhu, bani nantang kola perang, yan sujati, kita tan takut pejaha. Wahai engkau Ngurah, dengarkanlah, aku sudah tahu dengan benar, maksud kedatangan Ngurah kepadaku, engkau memang benar sangat pemberani, berani menantang aku berperang, ternyata memang benar, engkau tidak takut mati.
[2] Kewala pinehin jua, apan tan sayang ring urip, kola bakal tuah pesaja, ngematiang kita tuhu, apa bakal kaadokang, uli nguni, musuh kola pada kalah. Agar dipikirkan dengan matang, karena (engkau) tidak sayang dengan nyawa, aku memang benar akan membunuh kamu, apa yang akan engkau handalkan, sejak dahulu, semua musuhku selalu kalah.
[3] Kemo kita lumampaha, kado kita teka mai, aturang teken ratunta, kita nora lawan aku, tan sida jaga pejaha, keto jati, apang tan kita nyelselang. Silahkan engkau kembali, percuma engkau kemari, katakan kepada rajamu, engkau tidak berani melawan au, karena tidak akan dapat membunuhku, itulah yang sebenarnya, agar tidak menyesal nanti.
[4] I Gusti Ngurah manimbal, titiang sampun miragi, ratu dahat mawisesa, sarwa sanjata tan rungu, kewala sandang elingang, kawon besik, wantah pekardin laksana. I Gusti Ngurah lalu menjawab, saya sudah mendengar (dengan baik), bahwa anda raja yang sangat sakti, tidak luka oleh senjata, tetapi mohon diingat, baik buruk, memang disebabkan olek laksana (tingkah laku).
[5] elingang jua sang nata, kwentenan Sang Hyang Widhi, Ida sane maniwakang, sane patut mangguh ayu, sang laksana lobangkara, nemu pati, menawa sida pejaha. (Mohon) diingat juga wahai Sang Prabu, keberadaaan Tuhan Yang Mahaesa, beliau yang menetapkan, yang benar akan menemukan keselamatan, orang yang melaksanakan loba angkara, akan bertemu dengan kematian, pasti dapat dibunuh.
[6] Sampunang ratu mengangkab, atapak titiang tan gingsir, napike malih matulak, yan samun melanin patut, sara kayun sahiringa, ngadu pati, nyantos presida pejaha. Janganlah paduka congkak, saya tidak akan mundur setapakpun, apalagi akan kembali pulang, kalau sudah membela kebenaran, apapun kehendak anda akan saya ikuti, bertarung nyawa, sampai saya berhasil membunuh (anda).
[7] Bengong Dalem mamirengang, dahat wanen kita jati, yan tuhu kita prewira, perang tanding lawan aku, pada ngadokang kesaktian, jurit sami, apang pada manontona. Dalem (Nusa) terbengong-bengong mendengarkan (jawaban Gusti Ngurah Jelantik), engkau benar-benar sangat berani, kalau engkau memang benar perwira, mari perang tanding melawan aku, sama-sama mengadalkan kesaktian, semua prajurit, agar semuanya menonton (menyaksikan).
[8] Ampura titiang sang Nata, titiang wantah mangiring, margi sampun ngrereh genah, ring jabayan genah iku, titiang sayaga nandaka, perang tanding, mogi presida mejaha. Maafkan saya Sang Raja, saya suah siap mengikuti (kehendak anda), marilah segera mencari tempat, (sebaiknya) di luar tempatnya, saya suah siap menghadapi, perang tanding, semoga saya berhasil membunuh (anda).
[9] Panjak Nusa pada atap, awor ring prajurit Bali, sami pada nonton yuda, yudane dahat masepuk, wenten galah katiwakang, Gusti Jelantik, nuwek jajah Ratu Nusa. Rakyat Nusa semua duduk (dengan rapi), bercampur dengan prajurit Bali, semua menonton perang (tanding), perangnya sangat ramai, ada kesempatan diberikan kepada Gusti Jelantik, menusuk dada Ratu Nusa.
[10] Kagiat dane Gusti Ngurah, Sang Nata tan wenten kanin, keris dane saget tikel, Gusti Ngurah raris mundur, saha nanggul keris nia, ngame ame, nunggalang jiwa premana. Gusti Ngurah terkejut, Raja (Ratu Nusa) tidak luka, kerisnya (Gusti Ngurah) malah patah, Gusti Ngurah lalu mundur, sambil memikul kerisnya, berdoa, menyatukan jiwa raga.
[11] Kedek ngakak Ratu Nusa, saha matbat Gusti Jelantik, Gusti Ayu Kaler wirang, nyingak rabin dane mundur, ngregep nunggalang premana, ngamuk tuwi, manut pamargin ajinnya. Ratu Nusa tertawa terbahak bahak, serta mencaci Gusti Jlantik, Gusti Ayu Kaler (isteri Gusti Jelantik) menjadi marah dan ingin membela, melihat suaminya mundur, bersemadi menyatukan pikeran, lalu mengamuk, mengikuti riwayat ayahnya.
[12] Gusti Ayu raris nyagjag, sampunang beli ajerih, titiang ngaturang pusaka, anggen beli nyaya satru, I Gusti Ngurah nanggapa, metu jati, bayu ageng tan pasesa. Gusti Ayu lalu datang, kakanda jangan takut, saya memberikan kakanda pusaka, untuk digunakan membunuh musuh, I Gusti Ngurah menerima, benar-benar muncul kekuatan tenaga yang luar biasa.
[13] Saget ngerak Gusti Ngurah, nyaljal Dalem Dukut mangkin, pusakane katiwakang, keaksi ring Dalem Dukut, raris ararian aperang, ngadung orti, merasa ring kakasorang. Tiba-tiba Gusti Ngurah berteriak marah, sekarang memaki-maki Dalem Dukut, pusaka itu diarahkan, dilihat oleh Dalem Dukut, lalu berhenti berperang, minta berunding, karena merasa akan kalah.
[14] Ngurah Jelantik mangkin pirengang, rerenang perange jani, gelah suba merasa kalah, maija Ngurah malungguh, sarwa bogane ajenang, sambil ngorti, gelah jani manuturang. Ngurah Jelantik dengarkanlah, hentikan perang itu sekarang juga, saya sudah merasa kalah, marilah Ngurah duduk, silahkan makan makanan itu, sambil berbincang-bincang, sekarang saya akan menceriterakan.
[15] Pusakan Ngurahe ika, ento mawisesa jati, menget nira kamimitan, jani gantin gelah lampus, lwih sakti Hyang Naga Raja, ring Basukih, ambalan mulih kaswargan. Pusaka Ngurah itu, memang benar sangat sakti, aku ingat dengan batara kawitan, sekaranglah saatnya saya mati, karena kesaktian yang luar biasa dari Hyang Naga Raja, di Basukih, inilah jalanku menuju sorga loka.
[16] Aran denikang pusaka, Pencok Sahang iku jati, tejane dahat dumilah, pican Hyang Toh Langkir tuhu, mirib sangkan sang hyang titah, nemu pati, ambah mulih ke Nirwana. Nama pusaka itu, memang benar Ki Pencok Sahang, pemberian Hyang Toh Langkir (Betara Gunung Agung), barangkali sudah kehendak nasib, menghadapi maut, jalan pulang ke Nirwana.
[17] Pebesen nira tatasang, pelebon mukur muang ngasti, Ngurah jua laksanayang, elingang panjake tuhu, tanah gagan sikut satak, pinggan kalih, masurat padma lan cakra. Dengarkan baik-baik pesanku, upacara pelebon mukur dan ngasti (bagi jenazah Ratu Nusa), agar Jelantik juga yang melaksanakan, jangan lupakan rakyatmu, ada tanah gaga (sawah tadah hujan) luasnya 200, dan sebuah pinggan (pretima), berisi suratan gambar padma (bunga lotus berdaun 8) dan cakra (senjata lingkaran dengan 4 buah jari-jari yang ujungnya berbentuk trisula).
[18] Guci agunge maguna, anggen masiram mabersih, kalaning madeg sang nata, kawotan utami tuhu, bala samar akeh pisan, sasur tali, mangda presida karenga. (Ada) guci besar sangat berguna, dipakai untuk mandi suci ketika dilakukan upacara madeg ratu, ada pusaka utama, bala samar (laskar yang terdiri atas makhluk halus) banyak sekali, 35.000, agar selalu diperhatikan.
[19] Sad Kahyangan aywa lupa, Tri Kahyangan iku jati, Penataran Agung Peed, taler ring Batu Medawu, Pura Penida lan segara, Pucak Mundi, Pura Bakung luwir nia. Jangan lupa kepada Sad Kahyangan, juga Tri Kahyangan, Penataran Agung Peed, juga pura Batu Medawu, Pura Penida dan Pura Segara, Pucak Mundi, dan juga Pura Bakung.
[20] Yaning Ngurah suba tatas, yudane kawitin malih, sang kalih raris memarga, ring jabaan pada nuju, yudane pedaduanan, ngadu sakti, saling suduk kasuduke. Kalau sudah jelas buat Ngurah, mari perang dimulai lagi, dua-duanya lalu berjalan, menuju di luar puri, perang tanding hanya berdua, mengadu kesaktian, saling tusuk menusuk.
[21] Panjake bengong ngatonang, yudane kalintang sengit, wenten galah katiwakang, ketuwek dadan sang prabu, muncrat rah idane medal, girang sami, panjak Nusane masuryak. Rayat melihat dengan terbengong-bengong, perang berjalan dengan sengit, ada kesempatan (bagi Ngurah Jkelantik), dada Sang Prabu Nusa ditusuk, menyembur darahnya keluar, semuanya senang, rakyat Nusa bersorak (kegirangan).
[22] Ke purian layon kabakta, titah dane Gusti Jelantik, sami nangkil Ki Bendesa, margiang bisaman ratu, maosang pamargin yadnya, Gusti Jelantik, samun digjaya ring Nusa. Jenazah di bawa ke puri, Gusti Jelantik berkata, di hadapan semua Ki Bendesa, jalankan semua permintaan Raja, tentang jalannya upacara (palebon), Gusti Jelantik, sudah menang perang di Nusa.
[23] Wateking bendesa Nusa, sami sampun pada tangkil, Ceningan muang Lembongan, Jungutbatu Iseh Klumpu, Waru Tulad Penakidan, Rata Sakti, miwah taler ne lianan. Semua pejabat bendesa di Nusa, semuanya sedang menghadap, Ceningan dan Lembongan, Jungutbatu Iseh Klumpu, Waru Tulad Penakilan, Rata Sakti, dan yang lainnya.
[24] Ki Bendesa saking Sompang, kapingajeng iku tuwi, ngaraning bendesa Nusa, nabdab indik karya tuhu, rame ikang swaja karya, maring Peed, presida mangkin puputa. Ki Bendsa dari Sompang, merupakan yang terdepan, atas nama bendesa seluruh Nusa, akan mengatur upacara, sangat ramai upacara itu, di Peed, sekarang sudah selesai.
OM AWIGNEMASTU OM AWIGNEMASTU
Pupuh Ginanti Pupuh Ginanti
[1] Kocap dane Gusti Agung, ring Nusa kalintang lami, dwaning muput yadnyan ida, sang sampun dados dewati, presida sampun laksana, plebon mukur miwah ngasti. Konon beliau Gusti Agung, cukup lama tinggal di Nusa, karena harus menyelesaikan pitra yadnya beliau yang sudah menjadi dewati, sudah selesai dikerjakan, pembakaran jenazah, mukur dan ngasti (upacara penyucian arwah).
[2] Bendesa mangkin umatur, ampura titiang ring gusti, naweg titiang mapinunas, mangden ledang cokor I Gusti, lunga maring pondok titiang, wadwa Sompang liang sami. Sekarang bendesa (Sompang) berkata, maafkan hamba gusti, hamba memohon, agar I Gusti berkenan, datang ke rumah hamba, rakyat Sompang menjadi senang semuanya.
[3] Risampun dane mekayun, kenyem dane Gusti Jelantik, yan aketo pinunas paman, menawita kadagingin, galahe jua pastika, apan gelah jaga mewali. Setelah beliau (Gusti Jelantik) berpikir, Gusti Jelantik lalu tersenyum, kalau begitu permintaan paman, barangkali terpenuhi, pastikan juga saatnya, karena saya akan kembali (ke Bali).
[4] Suksma titiang aratu, ratu sampun managingin, idep titiange garjita, benjang semeng jaga memargi, genah nyane maring desa, nuju kulon jaga memargi. Hamba menyampaikan terima kasih, karena Paduka telah berkenan, hati hamba menjadi bahagia, besok pagi akan berjalan, lokasi desanya, berjalan menuju ke barat.
[5] Ritatkala semeng sampun, sayaga jaga memargi, saha sergep babekelan, panjake akeh mengiring, antuk sami subaktiya, pemargine sada gati. Setelah hari pagi, siap akan berangkat, lengkap dengan perbekalannya, rakyat banyak yang menyertai, karena semua hormat dan bakti, perjalanan agak cepat.
[6] Kocapan dane lumaku, sampun rawuh tengah margi, saget alase kacingak, saha bojog pagulanting, paksi pada masuara, rame pada ngawe asri. Diceriterakan dalam perjalanan, setelah sampai di tengah perjalanan, dilihat ada hutan, ada kera sedang bergelantungan, burung bersuara, ramai membuat keindahan.
[7] Sugem keker muang kukur, punan atate memunyi, kruwek puuh lan titiran, celukukan ngulkul ngwangsit, guwak selaen mangulayang, buka girang jroning ati. Sugem, keker (ayam hutan) dan kukur (tekukur), punan, atate (kakatua) bersuara, kruwek, puwuh (puyuh), dan titiran (perkutut), celukukan bersuara kentongan seperti memberi tanda, guwak (gagak), selaen, terbang melayang, seperti menunjukkan hati girang.
[8] Wenten tukad ne kapangguh, toyan nyane dahat ening, sami pada masandekan, daging alase ngulangunin, ring pesisi wenten pura, ngawe hening jeroning hati. Ada dilihat sungai, airnya sangat jernih, semuanya beristirahat, isi hutan sangat mempesona, di pantai ada pura, membuat hati menjadi sejuk.
[9] Nglanturang dane lumaku, ngemunggahang dane mangkin, kocap sampun dane prapta, panjak pada kumpul sami, mangaturang panyambrama, cerik kelih luh muani. Beliau (Gusti Jelantik dan rombongannya) melanjutkan berjalan, sekarang (berjalan) menanjak, konon beliau sudah sampai, rakyat semuanya sudah berkumpul, mempersembahkan jamuan, kecil besar laki perempuan.
Pupuh Ginada Pupuh Ginada
[1] Kasembrama Gusti Ngurah, ring bendesa saha bakti, atur nyane sada banban, durus ngeranjing iratu, ampurayang mangde ledang, antuk Gusti, mungguing genahe nista. Gusti Ngurah disambut, oleh I Bendesa disertai bakti, dia berkata dengan lambat, silahkan paduka masuk, agar Gusti berkenan memaafkan, karena tempatnya nista.
[2] Ngadeg dumun Gusti Ngurah, titiang ngemargiang subakti, cokor ratu kewasuha, antuk ipun Luh Sulatri, sedurunge ratu munggah, nekeng hati, wantah tan wenten leteha. Gusti Ngurah mohon agar berdiri dahulu, hamba menjalankan subakti, kaki paduka akan dibasuh, oleh Luh Sulatri, sebelum paduka naik, (hamba mempersembahkan bakti) dari hati nurani, yang tidak ada nodanya.
[3] Durus ratu mangkin munggah, ring amben genah mangkin, raris katur sarwa boga, miwah mole mole katur, sakayun kayun kasida, Luh Sulatri, inceg ngaturang ayah. Sekarang silahkan paduka naik, duduk di beranda rumah, lalu dihidangkan makan, semua yang enak-enak dipersembahkan, semua keinginan dipenuhi, Luh Sulatri, sibuk melayani.
[4] Ring meten pada malingga, sami pada ngadung orti, panjake atap prenamya, sami ngaton Gusti Agung, dane darma maprebawa, kisi kisi, panjake pada medasang. Mereka duduk di rumah utama, semua menyocokkan berita, rakyat semuanya memperhatikan, semua memandangi Gusti Agung, beliau tampak darmawan dan berwibawa, sambil berbisik, semua ingin memastikan.
[5] Pantes ngasorang Sang Nata, dane dahat madurgami, dabdab alus mangandika, pekantenan mula sadu, stata ngawenang kasukan, mula jati, dharmane neteh adharma. Pantas berhasil mengalahkan Sang Nata (Ratu Nusa), ternyata beliau (Gusti Ngurah) sangat sakti, berkata dengan sopan, penampilannya memang cerdas, selalu membuat orang lain senang, memang benar, dharma mengalahkan adarma.
[6] Matur malih Ki Bendesa, muhun ampura I Gusti, kaping telas atur titiang, mogi I Ratu mangrungu, pianak titiang kahaturang, Luh Sulatri, mangke ratu ngawewenang. Ki Bendesa lagi berkata, hamba mohon ampun Gusti, permintaan hamba yang terakhir, mohon I Ratu mendengarkannya (mengabulkannya), saya persembahkan anak hamba, Luh Sulatri, sekarang paduka yang berwenang.
[7] Gusti Agung mangkin kocap, runtag kayune ring hati, waluya ombak segara, ngatonang Sulatri ayu, kenyeme manis mengoda, luwih budi, separi tingkah adunga. Konon Gusti Agung, hatinya berdebar-debar, seperti ombak lautan, setelah memandang Sulatri yang cantik, senyumnya manis mempesona, budinya mulia, semua tingkah lakunya pantas.
[8] Rambute lantang melayag, kulit putih susu nyagkih, kadi nyuh gadinge kembar, angob sami sang ngarungu, bisa pungkat yang nelektekang, pingit tuwi, nuut pengajah ramannya. Rambutnya panjang bergelombang, kulitnya putih buah dadanya montok, seperti buah kelapa kuning kembar, semua yang memperhatikan menjadi terpesona, dapat roboh kalau berani memandangi dengan tajam, memang dipingit, taat kepada kata-kata ayahnya.
[9] Bangkiang rengkyang menyepaka, sledet nyanyap kadi tatit, waluya panah asmara, nuwek hati ked ketanggu, sane keni tan matingkah, nuut jati, dwaning keliput hyang semara. Pinggang ramping semampai, lirikan matanya seperti kilat menyambar, seolah-olah panah asmara, menusuk hati sampai ke hulu, mereka yang kena (panah itu) tidak dapat berkutik, pasti menurut, karena sudah terpukau oleh Dewa Asmara.
[10] Gusti Agung manyembrama, napi bapa tuhu jati, paweh bapa triman gelah, suksma kalintang tuhu, eda bapa sumangsaya, nekeng hati, Luh Sulatri anggen rabia. Gusti Agung menjawab dengan ramah, kalau Bapa memang benar dari hati nurani, pemberian Bapa saya terima, terima kasih, jangan Bapa sangsi, sampai ke hati, Luh Sulatri akan saya peristri.
Pupuh Sinom Pupuh Sinom
[1] Kocap sampun sandikala, wengine mangkin menampi, sami pada wus mesiram, ring meten raris mengungsi, Gusti Agung Luh Sulatri, ayat pada jaga aturu, ring kamar ya padadwanan, pada saling kisi kisi, Gusti Agung, nyaup Sulatri turua. Konon hari sudah senja kala, diganti hari malam, semua sudah selesai mandi, lalu menuju meten (gedung tempat tidur utama yang letaknya di utara), Gusti Agung dan Luh Sulatri, mereka siap akan tidur, berdua dalam kamar, berbicara berbisik-bisik, Gusti Agung lalu merangkul Sulatri agar merebahkan diri.
[2] waluya sanghyang semara, metemu ring dewi ratih, sami pada ngerasayang, demene ring jroning ati, mangkin presida mamurti, lulut asihe mepadu, kerasa tan wenten sira, ring jagate ane urip, sgara madu, sareng kalih ngerasayang. Seperti Sang Hyang Semara, bertemu dengan Dewi Ratih, semuanya sama merasakan, senang dalam hati, sekarang rasa itu menjelma, kasih sayang terpadu, dirasakan seperti tidak ada orang lain, yang hidup di dunia, lautan madu, berdua menikmatinya.
[3] uduh adi jegeg i dewa, kasub beli manyingakin, kayun beli keanyudang, blabar asmaran adine, waluyane beli ngipi, ada di segara madu, kewala tuah pesaja, adi di sisin beline, adi ayu, adi di hati malingga. Duhai adinda yang cantik, kagum kakanda melihatmu, perasaan kanda seolah dihanyutkan, oleh banjir asmara adinda, kakanda seperti mimpi, berada di lautan madu, tetapi sebenarnya di dunia nyata, adinda berada di sisi kanda, adinda sayang, adinda berada dalam kalbu kanda.
[4] uduh ratu dewan titiang, sampunang banget memuji, mangkin titiang ratu wenang, sampunang nyalit ring ati, sakarep titiang ngiring, yastun titiang ngemasin lampus, mapan titiang masubaya, ring dewek titiange nguni, titiang sanggup, ngayah ring wange digjaya. Duhai Paduka Dewa hamba, jangan terlalu banyak memuji, sekarang hamba adalah milik paduka, tidak perlu sungkan, apapun kehendak paduka hamba ikuti, walaupun hamba harus mati, karena hamba sudah berjanji, hamba sanggup akan menghamba kepada kesatria yang menang dalam peperangan.
[5] Gusti Agung atman titiang, titiang tresna nekeng hati, mangkin gusti sara ledang, napike gusti menampi, tresna sujati ring hati, sampun megantung ring ratu, menawi tan wenten arsa, becik sampun titiang mati, dwaning ratu, sampun ngungkab korin titiang. Gusti Agung nyawa hamba, hamba mencintai paduka dari lubuk hati, sekarang terserah paduka, apakah paduka menerima (cinta hamba), hamba benar-benar mencintai sampai ke lubuk hati, sudah (terlanjur) tergantung kepada paduka, kalau tidak berkenan, lebih baik hamba mati, karena paduka, sudah membuka pintu hati hamba.
[6] minab sampun sangkan titah, ring ida hyang parama kawi, mangkin suka kapicayang, dina benjang tan uningin, awinan sai ngastiti, setata eling ring kayun, sekejap tan naen engsap, antuk ida sane ngardi, sapunika, pabesen pekak titiang. Barangkali memang sudah takdir, Tuhan Maha Pencipta, sekarang beliau memberikan kesenangan, hari esok mana kita tahu, itulah sebabnya setiap hari memuja, selalu ingat dengan hati nurani, sekejappun tidak akan pernah lupa, karena beliau yang menciptakannya, begitulah, pesan kakek hamba.
[7] rasa wenten jroning manah, ring hati makumpul sami, yan sampun sida ngrasayang, rawuh ring telenging hati, mangkin waliang ring hati, kayun napi pacang metu, swaran hatine tan mimpas, napi kerasayang jati, iku tuhu, kang inucap lwihing pradnyan. Semua rasa ada dalam hati (nurani), semua berkumpul dalam hati, kalau sudah dapat merasakannya, sampai kepada hati yang paling dalam, sekarang kembalikan lagi kepada hati nurani, apa maunya yang akan dikeluarkan, suara hati nurani tidak pernah menyimpang, semua yang dirasakan dalam hati nurani, memang benar, kata orang bijaksana.
[8] naweg ratu ampura titiang, purun titiang matur yukti, kadi besen pekak titiang, sara ledang ratu mangkin, cutet titiang menampi, napike dados pamutus, dwaning titiang ratu wenang, tiwakang kayune mangkin, inggih ratu, mogi i ratu sweca. Maafkan hamba berujar, hamba berani mengatakan yang sebenarnya, seperti pesan kakek hamba, sekarang terserah paduka, saya siap menerima, apapun keputusan paduka, karena hamba dalam kekuasaan paduka, segera berikan keputusan hati paduka, duhai paduka, mudah-mudahan paduka berkenan.
[9] kelangen beli mirengang, atur adine ring beli, ring hati sampun karasayang, ngiring pirengang ne mangkin, swaran hatin beline adi, mangda adi tatas ngrungu, eda adi sumangsaya, tresna beline sujati, kliwat dalu, mai adi masirepan. Kagum kanda mendengar perkataan dinda kepada kanda, semuanya sudah dirasakan oleh hati ini, sekarang mari dengarkan suara hati kanda, agar dinda mendengarkan dengan baik-baik, jangan dinda curiga, tentang cinta kanda yang sejati, karena hari sudah terlalu malam, marilah kita tidur.
[10] raris ngojog pasirepan, sami ngadu lulut asih, kadi bedak nemu toya, wetu urip sarwa prani, praya landuh ikang bumi, weletik sarwa tinandur, raharja sida temua, gemah ripah loh jinawi, liwat dalu, minab tan sida sirepa. Lalu menuju tempat tidur, memadu cinta kasih, seperti haus mendapatkan air, menghidupkan seisi alam, bumi menjadi subur, semua yang ditanam tumbuh subur, semua menemukan kebahagiaan, subur makmur aman damai, (hari telah) liwat tengah malam, barangkali tidak dapat memejamkan mata.
[11] pirang dina sampun lintang, mangkin wenten galah mewali, raris dane amantuka, desa peed ane kaungsi, jaga nuju jagat bali, gusti ayu sergep sampun, jurit bali mangiringang, tan hana along sasiki, raris mantuk, nuju jagat bali pulina. Entah berapa hari sudah berlalu, sekarang ada kesempatan untuk pulang, menuju desa Peed, akan menuju pulau Bali, Gusti Ayu sudah siap sedia, diikuti oleh seluruh laskar Bali, seorangpun tidak berkurang, lalu pulang, menuju pulau Bali.
Pupuh Mas Kumambang Pupuh Mas Kumambang
[1] mangkin kocap, kawentenan luh sulatri, maring desa sompang, kayune sedih tan sipi, menulame mangajap. Sekarang diceriterakan, keberadaan Luh Sulatri, di desa Sompang, hatinya sangat sedih, rindu terbayang-bayang.
[2] sasuhunan, aksi titiang kadi mangkin, napi iwang titiang, duhkita titiang ring hati, durus picayang pemarga. Paduka Yang Mulia sesuhunan hamba, lihatlah kondisi hamba seperti sekarang ini, apa sebenarnya kesalahan hamba, (sehingga) hamba selalu sedih dalam hati, tolong segera berikan jalannya.
[3] peteng lemah, wantah titiang lilit sedih, suka nemu duka, menawi karma kepanggih, ratu sami ngawiwenang. Siang malam, hamba hanya dililit oleh kesedihan, senang bertemu dengan duka nestapa, barangkali memang sudah menemukan karma, semua (karena) paduka yang berkuasa.
[4] gusti ngurah, menawita gusti lali, tan eling subaya, dumadak gusti mangipi, uning kawentenan titiang. Gusti Ngurah, barangkali Gusti lupa, tidak ingat dengan janji, mudah-mudahan Gusti mimpi, tahu dengan keadaan saya.
[5] kasih sayang, ring dija genahne mangkin, nenten kerasayang, duk gusti ninggal memargi, wenten sampun tigang bulan. Kasih sayang, di manakah sekarang tempatnya, tidak lagi dirasakan, ketika Gusti meninggalkan (saya), ada sekitar 3 bulan.
[6] saget degdeg, manah nyane luh sulatri, minab sangkan si jabang, tuwuh weteng tigang sasih, raris matur ring ramannya. Tiba-tiba pikiran Luh Sulatri bulat, barangkali disebabkan oleh si jabang bayi, yang berumur 3 bulan dalam perut, lalu berkata (menghadap) kepada ayahnya.
[7] semeng kocap, ki bendesa lunga mangkin, mangdene tan marma, nuju maring puri jlantik, irika ring swecapura. Konon pagi-pagi benar, Ki Bendesa sudah berangkat, agar tidak galau, menuju ke Puri Jlantik, di sana di Gelgel.
[8] gegancangan, pamargine jaga tangkil, tan kocap ring jalan, saget prapta ring puri jlantik, ngadpada ngaturang sembah. Perjalanan akan menghadap (berlangsung) dengan cepat, tidak diceriterakan dalam perjalanan, sudah sampai di Puri Jalntik, duduk bersila lalu menyembah.
Pupuh Durma Pupuh Durma
[1] singgih ratu titiang pedek prana gata, dwaning sarat ttiang tangkil, mogi ratu mengampura, apan buat atur titiang, mogi ratu ledang menampi, sakin wekas, swecan ratu ring panjak sami. Duhai Yang Mulia hamba datang menghadap dengan tiba-tiba, karena ada yang penting makanya hamba datang, mohon agar paduka memaafkan, karena hatur hamba sangat penting, mohon agar paduka berkenan menerima, sejak dahulu, anda telah berhati mulia terhadap seluruh rakyat (hamba).
[2] tigang sasih lamin ipun duk mayuda, wadwa sami mamuji i gusti, jaya ratu maring nusa, suralagawa ring rana, mangkin wadwa sami trepti, wanging nusa, sami margiang titah gusti. Tiga bulan lamanya sejak paduka berperang, seluruh rakyat memuji paduka, menang perang di Nusa, menang perang dengan gemilang dalam pertempuran, sekarang seluruh rakyat merasa aman, penduduk Nusa, semuanya melaksanakan perintah paduka.
[3] matur malih ki bendesa ngelanturang, atur dabdab sada jati, singgih ratu menawegang, titiang matur mangden tatasa, kawentenan luh sulatri, pianak titiang, ngerempini tigang lek. Ki Bendesa melanjutkan berkata, berkata sopan dengan benar, paduka hamba mohon maaf, hamba berkata supaya jelas, tentang keadaan Luh Sulatri, anak hamba, sudah nyidam tiga bulan.
[4] kagiat dane gusti agung tur ngandika, uduh bapa gelah eling, kayun gelah dahat garjita, nguni hana pasubaya, twi lawan luh sulatri, de sumangsaya, gelah mapica mangden jati. Gusti Agung terkejut lalu berkata, duhai Bapa aku ingat, hatiku sangat senang, dulu memang ada perjanjian, kepada Luh Sulatri, jangan curiga, aku akan memberikan sesuatu agar sah.
[5] sinah ni luh manulame ngajap ajap, swecan gelah kapitwi, iki ganjaranku kadga, naga dungkul kang maharan, sad ukudan gelah jati, gen pawiwaha, arep ri luh sulatri jati. Pasti Ni Luh selalu menunggu dengan harap, rasa sayangku yang sebenarnya, ini pemberianku sebuah keris, bernama Naga Dungkul, sebagai ganti jasadku dengan benar, buatkan upacara pernikahan, yang sah terhadap Luh Sulatri.
[6] upacara pawiwaha arya mawadwa, eling bapa tatasang jati, mangde ngawe pekarangan, mangden tan awor ring kita, jeroan sompang ikang nami, wetu rare, ajak tangkil nemu i aji. Buatkan upacara pernikahan seorang arya yang mempunyai rakyat (pejabat besar yang berkuasa), bapak harus ingat dengan baik, agar membuat perkarangan (puri) tersendiri, agar tidak bercampur dengan kalian, puri itu diberi nama Jeroan Sompang, kalau bayi telah lahir, bawa menghadap kepada ayahnya.
[7] sampun tatas jro bendesa mepamit budal, saha mundut keris I gusti, tan kocapan maring jalan, sampun rawuh ring desa sompang, keris katur ring luh sulatri, sayan pageh, liang mangkin luh sulatri. Setelah jelas semuanya lalu Jro Bendesa mohon pamit pulang, sambil memikul keris milik I Gusti, tidak diceriterakan dalam perjalanan, sudah tiba di Desa Sompang, keris lalu diserahkan kepada Luh Sulatri, semakin tawakal, sekarang Luh Sulatri menjadi senang.
[8] matur mangkin luh sulatri menatasang, napi malih pandikan i gusti, nimbal mangkin jro bendesa, sami sampun kahuningang, luh sulatri liang miragi, kenyem kenyem, ngastitiang si jabang bayi. Luh Sulatri berkata lagi (kepada ayahnya) untuk lebih jelas, apa lagi yang dikatakan oleh I Gusti, Jro Bendesa menjawab, semuanya sudah disampaikan, Luh Sulatri menjadi senang mendengar, tersenyum simpul, mendoakan kesehatan si jabang bayi.
[9] kacarita wadwa sompang ngarya padukuhan, genah dane sang ngerempini, iku ngaran jeroan sompang, pepek daging upakara, luh sulatri mawiwaha, sareng kadga, gentos dane gusti ngurah jlantik. Diceriterakan rakyat desa Sompang sedang membuat puri, tempat tinggal beliau yang sedang nyidam, bernama Jeroan Sompang, isi upakara sudah lengkap, Luh Sulatri melakoni upacara pernikahan, dengan keris, sebagai ganti jasad Gusti Ngurah Jlantik.
[10] sewentennya luh sulatri ring jeroan sompang, ganti gumenti ikang kata, pitung sasih weteng nia, kemargiang pagedong gedongan, kadi pabesene nguni, mangda tan lempas, kadi titiah gusti ngurah jlantik. Selama Luh Sulatri di Jeroan Sompang, silih berganti kata-kata, perutnya (kandungannya) sudah berumur 7 bulan, lalu dilakukan upacara megedong gedongan, sesuai dengan tradisi jaman dahulu, agar tidak menyimpang, dari perintah Gusti Ngurah Jlantik.
[11] dahat raharja kawentenan jeroan sompang, ngerahina ngerastiti, mangden asung wara nugaraha, ida sang hyang widi wasa, molihang nanak utami, mawiguna, ring jagate kulawarga sami. Keadaan Jeroan Sompang amat tenteram, setiap hari berdoa, agar Tuhan Yang Mahaesa berkenan melimpahkan rahmatnya, melahirkan anak yang utama, berguna, kepada negara rakyat dan keluarga semuanya.
[12] sampun tutug tuwuh nyane weteng nia, embas rare lanang yukti, wadwa sami pada liang, bendesane sayang mangemban, sergep upacara sami, arya mewadwa, kadi titah dane i aji. Setelah cukup umur kandungannya, lahirlah anak laki-laki, rakyat semuanya senang, Bendesa senang memangku, dibuatkan upacara selengkapnya, (upacara) seorang arya yang berkuasa memiliki rakyat, seperti yang diperintahkan oleh ayahnya.
[13] lami sampun sayan duhur tuwuh nia, kirang langkung amasa mangkin, biyang nyane dahat sayang, sami pada menyayangang, raharja anake alit, katon bungah, biang dane mituturin. Semakin lama semakin bertambah usia anak itu, kira-kira ada satu tahun, ibunya sangat sayang, semuanya sayang, anak itu sehat walafiat, berwajah tampan, ibunya memberi nasehat.
Pupuh Semarandana Pupuh Semarandana
[1] uduh dewa sang utami, dewa yukti atman titiang, durus dewa renga jua, kawentenan ring mercapada, dewa sampun iring titiang, niti pemargin sang patut, mikukuihin daging darma. Duhai dewa yang utama, Dewa memang benar nyawa hamba, Dewa mohon dengarkanlah, keadaan di dunia fana, dewa sudah saya ikuti, merunuti jalan yang benar, taat kepada ajaran darma.
[2] mangkin titiang mapiuning, bawos jati ring i dewa, mangden dewa ledang ngrenga, ajin idewane budal, ring jagat bali pulina, riwus dane nyaya satru, ratu dalem bumi nusa. Sekarang hamba memberitahukan, ceritera yang sebenarnya kepada I Dewa, agar dewa bersedia mendengarkan, ayah anda pulang ke pulau Bali, setelah beliau mengalahkan musuh, (bernama) Ratu Dalem Bumi Nusa.
[3] sedih titiange tan sipi, ketinggal ajin idewa, mamulisah lemah dalu, dahate kalintang tresna, toyan pangaksi tan pegat, tresnane tan rawuh ketanggu, memarga manut swadarma. Hati hamba sangat sedih, ditinggal oleh ayah I Dewa, gelisah siang dan malam, karena terlalu cinta, air mata menetes tidak putus-putusnya, (karena) cintaku tidak sampai diujungnya, berjalan sesuai dengan kewajiban sendiri-sendiri.
[4] manut pabesene nguni, mangda titiang nyayang idewa, pengentos dane lumaku, wenten malih kapicayang, pinaka jiwa premana, keris dane naga dungkul, makecihna pawiwaha. Sesuai dengan pesan dahulu, agar hamba menyayangi anda, sebagai ganti beliau yang telah pergi, ada lagi pemberian beliau, sebagai ganti jiwa raga, keris beliau yang bernama Naga Dungkul, sebagai ciri tanda perkawinan (yang sah).
[5] titiang biang dewa yukti, sampunang dewa sangsaya, sayang titiang banget tuhu, ida idewa satmaka, urip titiang pinaka tohnya, margiang tingkahe mangempu, mas manik titiang idewa. Hamba memang benar adalah ibunda anda, jangan anda meragukannya, saya menyayangi anda dengan sepenuh hati, anda merupakan nyawa hidup hamba yang hamba bela dengan nyawa hamba, menjalani tugas hamba mengemong anda, anda seumpama mas permata hamba.
[6] uduh ratu sang hyang widi, taler gusti agung ngurah, aksi titiang ne ring kidul, wentene ring bumi nusa, doh yukti tan kacingak, slat segara yukti iku, ring hati moga melingga. Duhai Tuhan Yang Mahaesa, begitu pula Gusti Agung Ngurah, lihatlah hamba yang berada di selatan, berada di pulau Nusa, memang jauh tidak dapat dilihat, memang benar di seberang lautan, semoga berada dalam hati (paduka).
[7] pati brata satyeng laki, punika janji utama, rihin katur ring iratu, lulut asih masumaya, tingkahe ring pamereman, bakti anggen titiang nawur, gusti wantah jiwan ttiang. Setia terhadap suami seumur hidup, itulah janji utama (hamba), yang hamba persembahkan dahulu, berjanji saling mengasihi, ketika berada di peraduan, hamba bayar dengan bakti satya, Gusti adalah nyawa hamba.
[8] wenten putrane sawiji, pengantungan urip titiang, manah pageh titiang metu, eling ring sang rare medal, mecihna saha prebawa, eling titiang ring iratu, sangkan titiang sahuripa. Lahir putra paduka seorang, tempat nyawa hamba bergantung, muncul hati yang tawakal, karena selalu ingat dengan lahirnya sang putra, lahir disertai tanda kebesaran, hamba ingat kepada paduka, itulah yang menyebabkan hamba masih bertahan hidup.
[9] yan tan sangkan nake alit, meh sampun titiang pejaha, melarapan kadgan ratu, ganja dungkul manyedayang, inggian sangkan tresnan titiang, ring swarga mogi ketemu, ring iratu ajap titiang. Kalau saja tidak karena putra paduka, barangkali hamba sudah memilih mati, menusuk diri dengan keris paduka, Ganja Dungkul yang membunuh hamba, hanya karena berdasar cinta hamba, semoga bertemu di sorga, dengan paduka yang selalu hamba rindukan.
[10] inggih dewa sang utami, punika kawentenannya, ajin dewane malungguh, irika ring swecapura, nguni wenten pasubaya, yan sampun mamunggah duhur, presida jaga temua. Ya Dewa yang hamba muliakan, begitulan ceriteranya, ayah paduka tinggal di sana di Swecapura, dahulu ada perjanjian, kalau paduka sudah dewasa, akan bertemu juga (dengan ayahanda paduka).
Pupuh Ginanti Pupuh Ginanti
[1] bendesa mangkin karungu, liange tan kadi kadi, apan hana metu kewangia, warih sang paragan luwih, pepek sampun upakara, arya mewadwa utami. Diceriterakan sekarang Ki Bendesa, sangat bergembira, karena telah lahir (cucu) yang dihormati, keturunan seseorang yang sangat mulia, sudah diupakarai secara lengkap, (layaknya) seorang arya yang memiliki rakyat yang banyak.
[2] jero bendesa sedeng ngempu, kancit rawuh luh sulatri, mapidarta saha semita, eling ring subaya nguni, lanak mangda kewawa, swecapura jagat bali. Ki Bendesa sedang menjaga (cucunya), tiba-tiba datang Luh Sulatri, berkata-kata dengan wajah sendu, ingat dengan janji dahulu, putranya harap dibawa, ke Swecapura di pulau Bali.
[3] kenyem manis ngemu madu, atur nyane sada gati, cihna bakti ring rerama, toyan panone tan mari, karasa merawat rawat, gusti agung jroning ati. Tersenyum seperti mengulum madu, berkata agak cepat, tanda bakti kepada orang tua, air mata tergenang, terasa terbayang-bayang, Gusti Agung dalam hati.
[4] pireng atur titiang guru, elingang subaya nguni, putran dane tinuntuna, mangda katemu ring aji, mantuka ring swecapura, mangdene tan iwang pamargi. Ayah dengarkan perkataan hamba, ingatlah tentang perjanjian dahulu, (minta agar) putranya diantarkan, bertemu dengan ayahnya, pulang ke Swecapura, agar tidak salah jalan (tidak disalahkan).
[5] putran dane jati tuhu, dane patut mikayunin, mangdene tan titiang iwang, ngelongin subaya nguni, dane dahat kelintang sweca, titiang nunggil jroning hati. Putra ini adalah putra beliau yang sebenarnya, beliau pantas memikirkan, agar hamba tidak disalahkan, disebut mengurangi (melanggar) janji dahulu, (karena) beliau amat mulia hati, bersatu dalam hati hamba.
[6] kepiarsa ring i guru, jero bendesa nampenin, mapikayun jaga lunga, jagat baline kaungsi, rahinane kapastika, galah becik ne gumanti. Setelah di dengar oleh ayahnya, Jero Bendesa dapat menerima, berencana akan pergi, menuju bumi Bali, dipastikan hari (berangkat), kesempatan (cuaca) yang baik masih dinantikan.
[7] sedurung dane aturu, kocap dane luh sulatri, melid mebesen ring putra, mangden tan langgah ring aji, sembah baktine elingang, cokor ida gamel jati. Sebelum tidur, konon beliau Luh Sulatri, terus berpesan kepada putranya, agar jangan berbuat tidak hormat kepada ayahnya, ingat harus menyembah bakti (kepada ayah), memeluk kakinya dengan erat.
[8] iringang sami pekayun, ajin dewa pradnyan luwih, patut ida ngawewenang, cihnayang suputra jati, luh sulatri tan merasa, ature maduluran tangis. Semua pemikiran(Beliau) agar anda ikuti, (karena) ayah anda sangat cakap dan bijaksana, beliau yang berkuasa, tunjukkan bahwa anda adalah putra yang berbakti (kepada orang tua), Luh Sulatri tidak merasakan, (kalau) dia berkata sampil menangis.
[9] sampunang jua ratu purun, nulak wacanan i aji, ida dahat sumbungang titiang, riantuk sampun mabukti, sida nyaya ratu nusa, sangkan asung ida hyang widi. Jangan sama sekali anda berani membantah perkataan ayahanda, (karena) beliau sangat hamba banggakan, karena sudah ada buktinya, (beliau) mampu membunuh Ratu Nusa, itulah sebabnya Hyang Widhi memberikan rahmat kepada beliau.
[10] elingang ratu mekayun, mangdene tan titiang sedih, yan predene ratu lempas, becik sampun titiang mati, dumadak Hyang Widi Wasa, stata asih ring i gusti. Anda harus selalu ingat dan berpikir, agar hamba tidak bersedih, kalau sampai anda menyimpang (dari nasehat hamba), lebih baik hamba mati saja, mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Kuasa, selalu memberikan rahmatnya kepada I Gusti.
[11] dinuju rahina ayu, sang rare raris memargi, tinuntun ring jro bendesa, panjak akweh manyarengin, tan kocapan maring jalan, kancit rawuh ring puri jlantik. Pada suatu hari yang baik, sang putra lalu berangkat, dituntun oleh Jro Bendesa (Sompang), disertai banyak rakyatnya, tidak diceriterakan dalam perjalanan, sudah tiba di Puri Jlantik.
Pupuh Durma Pupuh Durma
[1] semeng sampun kawentenan ring swecapura, panjake ring puri jlantik, sami pada ngamet karya, manut mekadi swadarma, cihnan jagate sutrepti, wibuhing brana, wastu liang panjak sami. Pagi-pagi benar keadaan di Swecapura, rakyat di Puri Jlantik, semua bekerja sesuai dengan kewajiban masing-masing, tanda kerajaan yang sangat aman, makmur harta benda, sehingga rakyat semuanya merasa senang.
[2] yata kocap kyayi agung ngurah jelantik bogol, kahiringan ring i rabi, gusti ayu kaler parabnya, mawirasa makarwa, eling pamargine nguni, ngemargiang paswecan, asung ida hyang parama kawi. Diceriterakan Kyayi Agung Ngurah Jlantik Bogol, disertai oleh isterinya, yang bernama Gusti Ayu Kaler, sedang bercengkrama berdua, ingat dengan riwayat dahulu, melaksanakan kemuliaan rahmat Tuhan Yang Mahaesa.
[3] eling beli duk titiang ngiring ke nusa, tresnan titiang ngemasin mati, yan pradene beli seda, titiang jua manindihin, mangda nunggil titiang ring beli, tresna sayang, metu saking telenging ati. Ingatkah kanda ketika hamba menyertai paduka ke Nusa, kasih sayang hamba membela sampai mati, seandainya kanda gugur, hamba juga akan bela pati, agar hamba bersatu dengan kanda, cinta kasih hamba lahir dari hati nurani yang paling dalam.
[4] sangkan wenten paswecan hyang widi wasa, tusuk konde madurgama, duk keni ring tukad unda, ring tengah sahang malingga, kala wengi titiang mengipi, wenten sabda, rawuh ida saking toh langkir. Karena ada rahmat Tuhan Yang Mahaesa, tusuk konde yang sangat sakti, ketika ditemukan di sungai Unda, berada dalam kayu api, ketika pada suat malam hamba bermimpi, ada suara gaib, datang dari beliau Sang Hyang Tolangkir (Betara Gunung Agung).
[5] kasembrama atur dane saha semita, tresnan adi dahat utami, yan tan sangkan idewa, pastika beli pejaha, swecan ida ne ring adi, madurgama, sida nyaya ratu sakti. (perkataan) isterinya dijawab dengan ramah, kasih sayang adinda sangat mulia, kalau saja tidak karena adinda, pasti kanda sudah gugur, rahmat Tuhan kepada adinda, benar-benar sakti mandraguna, berhasil membunuh Ratu Sakti.
[6] kancit dateng jro bendesa nusa sompang, pedek tangkil ring igusti, dabdab matur saha sembah, kawula muhun ampura, mangda ledang sweca ugi, raris nimbal, gusti agung menampenin. Tiba-tiba datang menghadap Jro Bendesa Nusa Sompang, datang menhadap kepada I Gusti, berkata dengan sopan serta menyembah, hamba mohon ampun, agar paduka berkenan menerima, lalu dibalas, Gusti Agung menerima.
[7] uduh bapa apa puaran bapa prapta, pidartayang mangden jati, punapa kang wadwa nusa, ri dwastane mahadihyang, pretakjana ada bani, moga moga, landuh ikang ukir jeladi. Duhai Bapa apa sebabnya Bapa datang menghadap, katakan agar menjadi jelas, bagaimana keadaan rakyat di Nusa, sejak ditinggal sesudah perang, apakah masih ada penjahat yang berani, mudah-mudahan, selamat dari gunung sampai ke laut.
[8] matur malih jro bendesa saha sembah, panjak nusa muji i gusti, sura lagawa ring rana, masedana agung darma, wetu asih ida hyang widi, bumi nusa, mangkin sampun sami trepti. Jro Bendesa berkata lagi sambil menyembah, rakyat Nusa semuanya memuji paduka, menang secara kesatrya di medan perang, mempersembahkan darma besar, disertai oleh ramat Tuhan, pulau Nusa, sekarang sudah aman.
[9] kagiat dane ngaksi rare sareng prapta, saha nyembah ngatur bakti, eling pabesen I biang, ngelut cokor ngegisiang, saha nangis aji aji, bengong ngatonang, anak alit pradnyan yukti. (Gusti Ngurah) terkejut melihat ada seorang remaja ikut hadir, lalu menyembah dengan bakti, ingat dengan pesan ibunda, lalu memeluk kaki (Gusti Ngurah) dengan erat, sambil menangis memanggil aji aji, semua yang melihat menjadi terbengong-bengong, ada seorang remaja yang benar-benar cerdas, sopan dan hormat.
[10] raris dane mangandika ring bendesa, uduh bapa warah jati, sang apa rare tinuntutn, denta teka ring manira, waraha juga sada gati, mangden wruha, tatas antuk nira nampenin. Lalu beliau (Gusti Ngurah) bertanya kepada Bendesa, duhai bapa katakan yang sebenarnya, siapa remaja yang dibawa, datang menghadap kepadaku, katakan dengan cepat, agar aku dapat mengetahui dengan jelas.
[11] singgih ratu gusti agung ampura titiang, niki wantah putran i gusti, medal saking pianak titiang, luh sulatri ne maharan, eling titiang subaya nguni, kadi punika, sarat tangkil titiange mangkin. Daulat yang mulia Gusti Agung maafkanlah hamba, remaja ini adalah putra paduka sendiri, yang lahir dari putri hamba yang bernama Luh Sulatri, hamba ingat dengan janji paduka dahulu, hanya itu saja, yang menyebabkan hamba sekarang secara khusus menghadap (kepada paduka).
[12] kesiab dane gusti agung mamirengang, sedih liange manunggil, uduh barak bagus idewa, bangun dewa dini malungguh, di samping ajine dini, aji mapewarah, mangda cening tatas uning. Beliau Gusti Agung terkejut mendengarkan, sedih dan gembira bercampur menjadi satu, duhai engkau Barak Bagus, berdirilah engkau, duduk di sini di sebelah bapak, sekarang bapak memberitahukan, agar engkau mengetahui yang benar.
Pupuh Pangkur Pupuh Pangkur
[1] gusti lanang kepandaian, parab dane nangun arsa sang ngulati, angob sami sang ngarungu, nangun arsaning tuminggal, alep bagus kenyem manis ngemu madu, penikane alus medal, ngawe liang sang miragi. Gusti Lanang Kepandaian, begitulah nama (yang pantas) diberikan yang membangkitkan perasaan mereka yang mendengarkan, semua bangga mendengarkan, membangkitkan rasa haru bagi semua yang melihat, tampan sopan senyumnya manis seperti madu, perkataannya keluar dengan halus, membuat semua orang yang mendengar menjadi senang.
[2] gusti agung mangandika, uduh nanak becik mangkin piragi, nanak warih aji tuhu, eda nanak sumangsaya, dwaning mangkin sampun presida ketemu, usanang nangis idewa, aji mabesen ne mangkin. Gusti Agung lalu berkata, duhai anakku sekarang dengarkanlah, ananda memang benar putraku, janganlah sakwasangka lagi, oleh karena sekarang sudah berjumpa, berbentilah ananda menangis, sekarang ayah berpesan.
[3] uduh ngurah cening idewa, pireng tuhu pabesen ajine mangkin, darma nyraka ring sang prabu, mlajah metingkah laksana, eda lali trikaya mangden karungu, sawitra juwa elingang, margiang sami agami. Duhai Ngurah anakku, sekarang dengarkan baik-baik pesan ayah kepadamu, kewajiban (setia) menghamba kepada raja (dalem), selalu belajar berkelakuan dan berlaksana (yang baik), jangan lupa kepada ajaran trikaya parisuda (satunya kata dengan pikiran dan perbuatan), harus selalu ingat dengan sahabat, semua ajaran agama harus dijalankan.
[4] darma jua laksanayang, mapan iku sinanggeh utami, purun jua melanin patut, tingkah darmaning ksatrya, apin lampus yan sampun melanin patut, karma pala menyantosang, jaga nyujur jagat suci. Selalu darma yang dilaksanakan, karena itu disebut sebagai yang utama, berani membela kebenaran, sifat seorang kesatrya sejati, walaupun harus mati kalau sudah membela kebenaran, sudah dinanti oleh (hukum) karma pala, akan menuju kepada kesucian.
[5] aywa kita akweh ujar, laksanane mangda janten yukti, ngawe liang sang mangrungu, idep melanin negara, ento jati margiang laksanane sadu, presida mangda kelingan, daging jagat sami asih. Jangan terlalu banyak bicara, (tetapi) perbuatan agar jelas terbukti, membuat senang semua orang yang mendengarkan, niat membela negara, itulah yang patut dikerjakan sebagai orang sadu, agar selalu diingatkan, seisi dunia semuanya akan sayang (kepadamu).
[6] cening ngurah bagus idewa, eda lali yastun aji di bali, bakti jua ring kawitan, cungkub kroting lan pedarman, iku tuhu luirnya mrajan agung, moga kita dirgayusa, rahayu mangden pinanggih. Ananda Ngurah Bagus, jangan lupa walaupun ayah di Bali, ananda harus bakti kepada leluhur, (pura) Cungkub Kroting, termasuk juga Merajan Agung, semoga dikau bahagia dan sejahtera, agar selalu menemukan keselamatan.
[7] uduh ngurah kepandaian, eda ibuk aji mula ngastiti, pageh idewa sareng ibu, yadian selat segara, jroning hati dewa lan ibu malungguh, maka cihna aji sayang, mangkin wenten swecan aji. Duhai Ngurah Kepandaian, jangan risau ayah selalu berdoa, kuatkan iman bersama ibu, walaupun di seberang lautan, ayah tetap berada dalam hati ananda dan ibumu, sebagai ciri ayah sayang kepada kalian, sekarang ada pemberian ayah.
[8] nguni duk aji meyuda, taler wenten paswecan ida sri aji, ring nusa pinaka ratu, sri dalem dukut puspata, manywecanin tanah gagan satak sikut, antuk aji muputang karya, plebon mukur miwah ngasti. Dahulu ketika ayah berperang, ada pemberian beliau sang raja, yang menjadi raja di Nusa, bernama Sri Dalem Dukut, memberikan tanah gaga (sawah tadah hujan) 200 sikut (1 sikut = sekitar 50 are = 5.000 m2), karena ayah telah melaksanakan tugas sampai selesai, berupa pekerjaan pelebon (pembakaran jenazah Dalem Dukut) sampai upacara penyucian arwahnya.
[9] punika nanak kwasayang, genah nyane ring desane di peed, wenten taler piteket ratu, wanging nusa tan lipia, tri kahyangan, sad kahyangan taler iku, batumdawu, penataran agung peed, taler wenten puncak mundi. (Sawah) itu menjadi milik ananda, lokasinya di desa Peed, ada lagi pesan ayah, penduduk Nusa tidak boleh lupa, (memuja) kepada pura kahyangan tiga, sad kahyangan, termasuk Batu Medawu, Penataran Agung Peed, dan juga pura Puncak Mundi.
[10] perhyangan ring penida, pura bakung pura segara, punika mangden karungu, manut sekadi bisama, duke nguni daweg ida nyeneng ratu, keto nanak apang tatas, ki bendesa kapituwi. Parhyangan di Penida, Pura Bakung Pura Segara, itu semuanya harus dipelihara, sesuai dengan pesan suci, ketika (Dalem Dukut) yang dulu berkuasa, begitu agar ananda memahami dengan benar, begitu pula kepada Ki Bendesa.
[11] wenten malih swecan ida, guci agung saha pinggan rwang siki, utamane kawotan iku, taler akweh bala samar, sasur tali tatasang cening mangrungu, puja astuti margiang, sida wetu welas asih. Ada lagi pemberian beliau, guci besar dan piring dua buah, terutama pusakanya, juga ada banyak wong samar, 35.ooo banyaknya agar ananda memeliharanya dengan baik, puja astuti jalankan, agar menimbulkan belas kasih.
[12] moga cening eling jua, teken panjak duk bakti ring aji nguni, mangkin nanak ane ngrungu, wentene ring suang desa, aneng nusa margiang asihe tuhu, adung sami ring pakraman, awig adat aywa lali. Semoga ananda tetap ingat, terhadap rakyat yang dahulu pernah bakti kepada ayah, sekarang ananda yang memperhatikan mereka, keadaan di masing-masing desa, rasa kasih sayang diterapkan di seluruh pulau, agar selalu damai dalam desa pakraman, awig dan adat jangan dilupakan.
[13] ana desane ring nusa, lwirnia jungut batu ceningan sakti, lembongan iseh rata waru, klumpu tulad penangkidan, desa sompang kapingajeng iku tuhu, mangda sami medabdabang, nangun nusane sutrepti. Keberadaan desa-desa di Nusa, seperti Jungutbatu Ceningan Sakti, Lembongan Iseh Rata Waru, Klumpu Tulad Penangkidan, terutama desa Sompang, agar semuanya diatur, untuk membangun Nusa yang aman damai.
[14] menget dane gusti ngurah, mapikayun ayat jaga tangkil, lumaris dane lumaku, sareng putra lan bendesa, puri agung punika sane katuju, pedek tangkil ring sang nata, ngaturang indike jati. Gusti Ngurah baru ingat, berrencana hendak menghadap, lalu beliau segera berangkat, bersama putranya dan Ki Bendesa (Sompang), menuju ke Puri Agung (keraton Gelgel), menghadap kepada raja (Gelgel), menyampaikan keadaan yang sebenarnya.
[15] sarat nyinung lunggah kang putra, tangkil mangkin dane rakryan jlantik, ngadpada matur ring sang prabu, sang prabu ida masabda, saha smita waluyane sangyang wisnu, pranagata ngurah prapta, apa tunas ngurah jani. Sambil menuntun putranya, Rakryan Jlantik lalu menghadap, sambil menyembah berkata kepada sang prabu, sang rabu lalu berkata, sambil tersenyum seperti Dewa Wisnu, Ngurah pagi-pagi benar sudah datang, apa yang hendak engkau minta (dariku).
[16] inggih ratu sasuhunan, dwaning sarat awinan titiang tangkil, lugrayang durus swecan ratu, apan wenten stanan titiang, aneng nusa, ngurah kepandaian aratu, durus ratu mangda sweca, eling pemargne nguni. Ya raja junjungan hamba, karena ada hal penting maka hamba menghadap, hamba mohon perkenan paduka, karena ada putra hamba di Nusa, bernama Ngurah Kepandaian paduka, hamba mohon agar paduka menganugrahkan sesuatu, mengingat peristiwa dahulu.
Pupuh Ginada Pupuh Ginada
[1] uduh ngurah pwa kita, manira tan jaga lali, baktin ngurahe ne suba, manira tuah magrungu, ngurah presida mejaha, ratu sakti, ana ikang mareng nusa. Duhai engkau Ngurah, aku tidak pernah lupa, kesetiaan Ngurah di masa lalu, aku sudah mendengar, Ngurah berhasil membunuh, ratu sakti, yang berkuasa di Nusa.
[2] apan ana pianak ngurah, ana paweh aku mangke, bisaman nira elingang, mangke kedadosang ulu, wali agunge ring nusa, keto jati, ngawewenang panjak nusa. Karena ada putra Ngurah, sekarang ada pemberianku, ingat pesan suciku, (putramu) aku angkat sebagai kepala, wakil aggung (manca agung) di Nusa, begitulah sebenarnya, memerintah rakyat Nusa.
[3] ana pamrihanku juga, apang ngurah tuhu jati, arep ri janjin manira, mangden ngurah tatas ngrungu, jujukang pura pedoman, iku jati, maka cihna janjin nira. Juga ada permintaanku, agar Ngurah benar-benar melaksanakannya, terhadap janjiku, agar Ngurah mendengarkan, (putramu) harus mendirikan Pura Pedoman, begitulah sebenarnya, sebagai ciri janjiku.
[4] aran ikang pura pedoman, ento mula tuah pejanji, janjin manira ring ngurah, nanak ngurah maka ulu, apan ngurah mawisesa, ngiring jati, mejahaken ratu nusa. Namanya Pura Pedoman, itu artinya memang janji, janjiku kepadamu Ngurah, putramu sebagai kepala, karena ngurah yang sakti, memang benar setia, membunuh Ratu Nusa.
[5] ana muah paican gelah, apan ngurah tulus bakti, angaturang bumi nusa, ratu sakti presida ru, aku weh kita pusaka, keris iki, ana dahat madurgama. Ada lagi pemberianku, karena Ngurah bakti dengan tulus, menghaturkan pulau Nusa, Ratu yang sakti mampu dikalahkan, aku memberikan engkau sebilah keris, keris ini, sakti mandraguna.
[6] ida sang hyang widi wasa, ida wantah maka saksi, ring bisaman nira ento, moga kita jati tuhu, stata eling ring swadarma, ngagem yukti, tingkahing dadi satrya. Beliau Tuhan Yang Mahaesa sebagai saksi, terhadap pesan suciku itu, moga-moga benar seperti itu, selalu ingat menjalan kewajiban, benar melaksanakannya, kelakuan sebagai seorang satrya.
[7] singgih ratu sasuhunan, sembah bakti titiang aksi, titiang wantah tan lipia, antuk swecan ledang ratu, duk yayah titiang pejaha, maring puri, ratu dahating sweca. Duhai Yang Mulia junjungan hamba, saksikan sembah bakti hamba, hamba benar-benar tidak akan pernah lupa, atas semua kemuliaan paduka, ketika ayah hamba gugur, (paduka memelihara hamba) dengan kasih sayang kemuliaan di puri.
[8] mangkin taler ratu arsa, ring nanak titiang sawiji, taler ring ipun bandesa, wantah ipun sane ngrungu, ngemban ngurah kepandaian, sampun jati, titiang mangkin mamwita. Sampai sekarang paduka masih juga berkenan, (memberikan kemuiaan) kepada anak hamba seorang, juga kepada dia Ki Bendesa, memang dia yang menghiraukan, memelihara dan membesarkan Ngurah kepandaian, sudah jelas, sekarang hamba mohon pamit.
Pupuh Mas Kumambang Pupuh Mas Kumambang
[1] mangkin kocap, wentene ring puri jlantik, gusti kepandaian, metu aturnya ring aji, keiring jero bendesa. Sekarang diceriterakan, keberadaan di Puri Jalntik, Gusti Kepanaian berkata kepada ayahnya, disertai oleh Jero Bendesa.
[2] pegat pegat, atur nyane ring aji, aksi sembah titiang, titiang tan purun ring aji, dewek titiang aji wenang. Berkata dengan terputus-putus kepada ayahnya, sembah hamba, hamba tidak akan pernah berani kepada ayahda, badan hamba merupakan kekuasaan ayahda.
[3] malih pidan, aji ke nusa memargi, wenten iring titiang, ibun titiang sai sedih, raina wengi ngajap ajap. Kapan ayahda akan berangkat ke Nusa, agar ada yang hamba ikuti, ibu hamba sedih selalu, siang malam selalu berharap (berjumpa dengan paduka ayahda).
[4] tunas titiang, sampunang i aji lali, ring dewek titiang, yastun aji ne ring bali, sayang aji ajap titiang. Hamba memohon agar ayahda jangan lupa kepada diri hamba, walaupun paduka ada di Bali, kasih sayang ayahda selalu kami harapkan.
[5] eling titiang, ring pabesen biang malih, kelangene kalintang, wantah dahat tresna jati, mangda aji sahuninga. Ada lagi pesan ibu yang hamba ingat lagi, ibunda sangat rindu kepada ayahda berdasarkan cinta yang sejati, agar ayahda tahu saja.
[6] saha sembah, raris ngelut cokor aji, kegisi tekekang, mamulisah nangis sedih, eling jaga mepalasan. Sambil menyembah lalu memeluk kaki ayahnya, dipegang dengan erat, menangis meratap, sadar akan berpisah.
[7] gusti agung, medalang toya pengaksi, uduh cening ngurah, klangen aji memiragi, aji sayang ring i dewa. Gusti Agung meneteskan air mata, duhai ananda Ngurah, kagum ayahda mendengarkan, ayah sayang kepadamu.
[8] raris nimbal, jro bendesa saha bakti, nglungsur pangampura, dwaning galahe mepamit, jaga mewali ke nusa. Lalu disela oleh Jro Bendesa disertai dengan sembah, mohon maaf, karena sudah tiba waktunya akan pamit, kembali ke Nusa.
Pupuh Sinom Pupuh Sinom
[1] jeroan sompang mangkin kocap, punyan tunjung maka ciri, carang nyane ngerempayak, mebunga ya sai sai, ngawe liang sang ngulati, bunga putih miik ngalum, genah etis mesayuban, ngawe garjita ring ati, bongkol ipun, batu lempeh ageng pisan. Sekarang diceriterakan di Jeroan Sompang, pohon teratai sebagai tandanya, cabangnya rimbun, berbunga setiap hari, membuat senang semua yang memandangnya, berbunga putih, harum semerbak, tampatnya sejuk untuk berteduh, membuat hati senang, pangkalnya, sebuah batu ceper besar sekali.
[2] sang ana ring jeroan sompang, warih kiyai ngurah jlantik, gusti lanang kepandaian, parab dane ne sujati, biang dane luh sulatri, okan jro bendesa tuhu, mangkin sampun mapidabdab, pewangunane memargi, duk ne dumun, bisama sampun katrima. Yang tinggal d Jeroan Sompang, keturunan Kiayi Ngurah Jlantik, Gusti Lanang Kepandaian, namanya yang benar, ibunya bernama Luh Sulatri, memang benar putri dari Jro Bendesa, sekarang sudah bersiap-siap, akan mengerjakan pembangunan, dahulu, pesan suci sudah diterima.
[3] swateking pretakjana, kebagian tanah sami, wentennya ring jagat nusa, sampun presida sutrepti, pemargine adung sami, dwaning tan wenten pakewuh, ratune sampun pejaha, asah asihe memargi, sami guluk, jaga nabdab bumi nusa. Semua anggota laskar yang setia, semua mendapat bagian tanah, yang ada di Nusa, sudah menjadi aman, semuanya setuju, tidak ada kesulitan, (karena) Ratunya sudah mati, yang berlaku hanya kasih sayang, semua sepakat, akan mengatur pulau Nusa (menjadi baik).
[4] gusti lanang kepandaian, sampun munggah teruna mangkin, nangun arsane tuminggal, dahat menganyudang hati, rupa bagus luwih budi, kenyem manis ngemu madu, truni trunine mulisah, metu manah nyane paling, yan ketuju, sander tatit pengaksian. Gusti Lanang Kepandaian, sekarang sudah dewasa, kagum semua yang melihat, sangat menghanyutkan hati, wajah tampan budinya mulia, senyum manis seperti madu, para gadis menjadi gelisah, hati mereka menjadi paling, kalau kebetulan, disambar kilat (cahaya) mata (Gusti Kepandaian).
[5] meguru dane setata, melajah metingkah jati, mangda sida ngagem darma, pinaka senjata tuwi, kalaning kantun maurip, mangda sami asih lulut, yastun buta yata dewa, manusane sami asih, sangkan sadu, saluwir tingkah laksana. Dia selalu berguru, belajar berkelakuan baik, agar dapat menjalankan kewajiban, sebagai senjata yang sebenarnya, ketika masih hidup, agar semua mengasihi, baik buta maupun dewa, semua manusia menyayangi, semua perbuatan dan kelakuan selalu jujur.
[6] yan sampun dane ngandika, panjak nenten purun sami, dabdab alus saha smita, bangrase tan nahen murti, ketepes jroning hati, kekancing antuk sang sadu, awanan panjake liang, bakti asihe memargi, sami adung, kerta ikang wadwa nusa. Kalau beliau sudah berkata-kata, rakyat tidak ada yang berani (menentang), berkata lemah lembut dengan wajah cerah, tidak pernah marah, (marahnya) dipendam dalam hati, dikunci oleh kebijaksanaan, itulah sebabnya rakyat senang, bakti sayang yang berjalan, semua sepakat, rakyat Nusa menjadi aman damai.
[7] wenten penikan i biang, dewa sampun truna mangkin, pantes i dewa merabia, mungpung titiang kari hurip, titiang sampun mamilihin, punika yan ratu rungu, yata kocape ring subia, tosan pande iku yukti, listu ayu, jegege tuara da pada. Ada perkataan ibunya, sekarang ananda sudah cukup dewasa, sudah pantas ananda kawin, mungpung ibunda masih hidup, saya sudah memilihkan, itupun kalau ananda mendengarkan, konon ada di desa Subia, keturunan wangsa Pande, cantik sekali, tidak ada taranya.
[8] luh warsi yukti arannya, kemikane nyunyur manis, madu juruh kekawonang, midep pungkat sang mangaksi, taler pradnyan luwih budi, patut anggen titiang mantu, mogi dewa ledang arsa, presida jaga nampenin, uduh ratu, gelis dewa merabia. Namanya Luh Warsi, bibirnya manis kalau berkata, manisnya madu dan gula pasti kalah, mungkin rebah setiap orang yang memandang, orangnya cakap pandai dan berbudi, cocok sebagai menantu saya, semoga ananda berkenan, dapat menerimanya (sebagai isteri), duhai anakku, segeralah ananda menikah.
[9] i nanak mangkin manimbal, durus ibu pireng mangkin, kayun ibu manut pisan, titiang katemu duk nguni, sareng ipun ni luh warsi, manut kadi bawos ibu, titiang kari mangengkebang, kimud titiange ring hati, sareng ibu, takut yaning tan katrima. Sekarang putranya menjawab, mohon agar ibu mendengarkan, dulu saya sudah bertemu, dengan dia Luh Warsi, sesuai dengan yang ibu katakan, tetapi saya masih menyembunyikannya, hati saya malu, terhadap ibu, takut kalau ibu tidak menerimanya.
[10] yening kadi sapunika, dabdabang ibune mangkin, sareng pekak laksanayang, mangde gelis titiang merabi, mangden wusan titiang ngipi, mangipiang ni luh ayu, genahe edoh ring subia, tan sida kacunduk sai, pingit tuhu, margiang sampun papadikan. Kalau sudah demikian, mohon ibu agar segera bersiap, melaksanakan bersama Pekak (Jro Bendesa), agar cepat saya kawin, agar saya berhenti bermimpi, memimpikan Ni Luh Ayu, tempatnya jauh di Subia, tidak dapat berjumpa setiap hari, benar-benar dipingit, laksanakan segera acara meminang.
Pupuh Durma Pupuh Durma
[1] kocap mangkin kawentenang pawiwaha, gusti lalang lan luh warsi, akweh rawuh wadwa nusa, taler sami jro bendesa, nyaksiang dane merabi, ramia karya, cihna bakti ring i gusti. Konon sekarang dilakukan upacara pernikahan, Gusti Lanang dengan Luh Warsi, banyak dihadiri oleh rakyat Nusa, juga semua Jro bendesa, menyaksikan mereka yang menikah, ramai sekali, bukti hormat kepada I Gusti.
[2] trepti ikang jagat nusa saha raharja, kewawa ring dane gusti, antuk pradnyan ngetang jagat, salunglung sabayantaka, awige trepti memargi, wicaksana, wetu liang wadwa sami. Pulau Nusa menjadi aman dan damai, diperintah oleh I Gusti, karena cakap memerintah negeri, sehidup semati, awig dijalankan dengan tertib, bijaksana, semua rakyat menjadi senang.
[3] wewangunan taler sampun kalaksanayang, sad kahyangan keling sami, taler widang sasolahan, kekawin lan gaguritan, metastra sane utami, tetabuhan, jojor jangkang baris pati. Pembangunan juga dilaksanakan, pura sad kahyangan semuanya diperbaiki, juga dalam bidang tari-tarian, kekawin dan gaguritan, terutama belajar sastra, seni menabuh, jojor jangkang dan baris pati.
[4] sampun lami sawentennya ring jeroan sompang, masentana kalih diri, pinih duhur ne maharan, gusti lalang pamedilan, tanggun nyane arak api, maprebawa, agung aluhur selem yukti. Setelah lama di Jeroan Sompang, berputra dua orang, yang tertua bernama Gusti Lanang Pamedilan, dengan nama tambahan Arak Api, berwibawa, memang benar berbadan hitam besar.
[5] kumis atub teguh dane ne mabingkal, lawan satru tan ajerih, seneng maolahan, ajejuden taler suka, untun nyane ne maputih, mewibawa, inaturan ring peed sumendi. Berkumis tebal kebal dan kuat sekali, tidak takut melawan musuh, senang mebat (membuat makanan lawar), juga senang berjudi, giginya putih bersih, berwibawa, diminta untuk bertempat tinggal di Peed.
[6] apan hana tanah gagan sikut satak, swecan ida betara nguni, dane wenang ngewasayang, irika dane malingga, duke nguni pecak puri, dangin pura, kadadosang jero gumanti. Karena ada tanah gaga ukuran 200, pemberian Ida Betara (raja Gelgel) dahulu, beliau yang diberikan menguasai, di sana beliau tinggal, dahulu bekas puri, sebelah timur pura, digantikan menjadi jero.
[7] kaping rwa putran dane gusti kepandaian, gusti gede tojan twi, dane watah maprebawa, jemet ring sarwa tatwa, wikan ngwilang antuk jari, slokan bintang, wikan niti daging usadi. Putra kedua Gusti Kepandaian, bernama Gusti Gede Tojan, dia memang berwibawa, rajin belajar sastra, pandai menghitung dengan jari, tentang gugus bintang (untuk menentukan musim dan arah angin di laut), juga cakap dan dingin tangan dalam ilmu pengobatan.
[8] dane wantah nyeneng kantun ring jeroan sompang, sang ngatonang sami asih, inggian ngelarang kedarman, teleb melajahang raga, stata bakti ring widi, munggah truna, ngalap rabi saking sompang. Beliau masih tinggal di Jeroan Sompang, semua yang melihat merasa sayang, karena beliau menjalankan darma, selalu tekun belajar meningkatkan diri, selalu bakti kepada Tuhan, setelah dewasa, mempersunting isteri dari Sompang.
[9] kocap mangkin dane gusti pamedilan, sampun duur dane mangkin, dane sampun merabia, luh tangkas ikang nama, tosning tangkas koriagung yukti, putra sinunggal saking rare karogi nglaranin. Sekarang diceriterakan beliau Gusti Pamedilan, beliau sekarang sudah dewasa, sudah beristeri, bernama Luh Tangkas, memang benar keturunan Tangkas Koriagung, berputra satu orang, sejak kecil selalu kesakitan..
[10] balian sami sampun kautus matetamban, tan presida balian sami, raris dane sahilinga, ngame ame ngajap ajap, yan seger aji mejanji, nuntun pura, pura pedoman suun aji dini. Semua dukun sudah dipanggil untuk mengobati, semua balian tidak berhasil, lalu beliau (Gusti Pamedilan) ingat, lalu berkata-kata dan berkaul, kalau ananda sembuh, bapak berjanji, memindahkan pura, Pura Pedoman akan ayahda puja di sini.
[11] duk tan sweca tan lugraha ida ring peed, tan hana sentana malih, ngamet putra saking sompang, kapupu putra sentana, eling luhure manunggil, kepastika, dwaning patut kawitannya tunggil. Oleh karena Betara di Peed tidak berkenan, beliau tidak berputra lagi, lalu mengambil putra dari Sompang, diangkat sebagai putra sentana, karena ingat satu leluhur, dipastikan, karena leluhurnya memang benar satu.
[12] sapunika pemargine duk nguni kuna, manut kadi ring presasti, kawentenan jeroan sompang, ring peed taler wantah tunggal, saksat sepit minekadi, tan palasang, mogi asih hyang parama kawi. Begitulah riwayat jaman dahulu, sesuai dengan yang termuat dalam presasti, keberadaan Jeroan Somang, juga yang di Peed karena satu, seperti sepit tidak dapat dipisahkan, semoga Sang Hyang Widi berkenan melimpahkan kasih sayang.
Reference:
- Anonymous – Prasasti Jeroan Sompang, Nusa Penida***

Disalin kembali disertai terjemahan ke dalam bahasa Indonesia atas permintaan Godefridus Dijkman, yang naskah photokopynya diberikan oleh Dr.H.I.R. Hinzler, dikerjakan oleh Ida Bagus Sidemen, tungtunging gesing asrami, lisikan kalih cacakan limolas, loring denpasar, bali pulina.

puput sinurat ring komputer
duk rahina sukra pahing wara ugu,
tanggal ping 9, sasih kasa,
rah tunggal tenggek trini,
isaka masa
eka trini gapuraning dewantara
tanggal Masehi 3 Juli 2009